Selasa, 23 Oktober 2012

Lifes Never Die bagian Tiga


Rasanya baru sekejap aku merebahkan badan alarm sialan yang ada diruangan tengah rumah (sepertinya) berbunyi dengan kerasnya.Aku melihat jam di layar ponsel abal-abal yang kumiliki.
“Ahh, masih jam 05.00 Shubuh. Masih ngantuk. Hooaaaamm..”saat aku mau memejamkan mata kembali, ketuka pintu yang agak kuat terdengar dengan begitu keras.”Siapa sih? Masuk.”
“Kamu udah bangun? Aku kira kamu belum bangun. Ayo cepat, hari ini kamu akan aku tunjukkan ruangan yang ada dirumah ini. Sebelum bu Nunik bangun.”
“Oh, kamu Lusy. Aku kira sinenek sihir. Emang bu Nunik bangun jam berapa?”tanyaku seketika.
“Bu Nunik biasa bangun jam 06.30, jadi sebenarnya masih ada sih waktu untuk tidur bagi pembantu yang lain. Tapi, kalau dia sampai tahu siap-siap deh dipecat.”jawabnya panjang lebar.
“Oh, oke. Tapi aku sholat shubuh dulu ya. Enggak enak rasanya kalau kerja tidak diawali dengan sholat dipagi hari.”pintaku pada Lusy.
“Oke, aku tunggu disini saja.”jawabnya dengan senyuman tipis.
               Seusai melaksanakan ibadah sholat shubuh, Lusy langsung mengantarkanku keruangan yang ada diseluruh rumah.
“Aku dengar kamu masih kuliah ya?”ungkapnya membuka pembicaraan kami dipagi itu.
“Oh, iya.” aku menjawab sembari tersenyum.
“Kita mulai dari lantai pertama ya, kamu pastinya sudah tau dimana dapur?”aku hanya mengangguk menandakan kalau aku sudah mengetahuinya.”Nah, yang ini ruang tamu. Ini ruang tamu utama, sebenarnya ada tiga tapi yang paling besar adalah yang ini.”tunjuknya kearah ruang tamu. Ini sih bukan ruang tamu, tapi ini namanya ruang penyambutan bapak presiden.  Bukan besar lagi, tapi sangat besar. Diluar dugaanku, kemarin malam aku mengira ruangan ini adalah ruangan khusus acar-acara besar saja dipergunakan.
“Nah, yang ini adalah perpustakaan. Benar-benar besar ya. Semua berbau bahasa Korea dan Jepang, aku saja sampai tidak mengerti artinya.”
“Oh, dulu sewaktu orang tua aku masih ada. Aku pengin banget punya perpustakaan sendiri, tapi sayang semua hanyalah khayalan saja.”
“Maaf ya, jadi kesitu pengarahan-nya.”dia menatapku layaknya orang yang butuh bantuan.”Nah kalau yang ini adalah ruangan antik, kalau ruangan ini ada yang merawatnya kok. Jadi kita enggak usah repot-repot untuk merawatnya.”barang-barang ini saja harganya bisa mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta.rupiah.
“Harganya setara dengan perumahan elit di Jakarta. Sungguh menegangkan bagi yang mengerjakan-nya.”
“Sangat menegangkan Dira. Aku saja terkadang sampai merinding bagaimana kalau barang-barang ini sampai pecah. Bisa-bisa kita jadi pembantu seumur hidup disini tanpa digaji. Bahkan itupun tidak mencukupi untuk menggantinya.”aku sangat menyetujui perkataan Lusy ini.
               Satu jam lebih kami berjalan-jalan mengitari rumah ini, sangat melelahkan. Badanku saja sampai bau keringat. Aku langsung menuju kekamar mandi untuk membersihkan diri, ketika aku masuk kekamar jantungku bagai tersambar petir.
“AAAAAAA...”teriakku.”Ngapain kamu disini, keluar! Keluar dulu!”aku mendorong kursi rodanya tanpa perduli ekspresinya. Tak sampai 15 menit aku berpakaian, aku membuka pintu dan melihat tuan muda ini masih ada diluar kamarku.
“Tubuhmu seksi juga, bagus lagi.”aku hanya menelan ludah mendengar ucapan-nya yang sangat spontan itu.”Tapi maaf, aku tidak tertarik. Katamu aku mau diajak keluar rumah. Tapi sekarang sudah jam 07.30 wib. Kamu lupa?”
“Saya enggak lupa. Tapi pura-pura lupa.”singkat tapi aku harap dia mengerti dengan ucapanku tadi.
“Aku tidak perduli, yang penting ajak aku keluar rumah sekarang juga.”sebenarnya aku malas untuk keluar rumah bersamanya. Tapi apa boleh buat, berhubung itu janji dan tugasku sebagai pembokatnya.
               Ikhlas tak ikhlas aku mendorong kursi rodanya, tepat sampai dipintu depan rumah sebuah mobil sedan mewah berhenti. Aku melihat ekspresi Tara berubah, wajahnya seperti lebih cerah.
“Haii, kalian lebih cepat dari dugaan.”seorang perempuan cantik berambut hitam kecoklatan keluar dari mobil dan menyambangi Tara. Aku hanya tersenyum, tapi kok mobilnya tidak jalan-jalan juga. Aku menatap wajah Tara dengan seksama.
Yes, we want suprise to us brother.”ucap wanita ini dengan lembutnya. Senyumnya bagai bulan sabit, siapa sih lelaki yang tidak akan menyukainya.
And. You get it. Thank you, where’s Lee? I missed him.”ternyata tepat dugaan ku. Perempuan cantik ini adalah Hyun Naa.
I’m here brother.”aku mendengar suara berat tepat disampingku. Subhanallah, tampan sekali. Tidak jauh beda dengan Tara. Betul-betul keluarga yang sempurna.
I miss you so much.Oh, ya. Kenalkan ini Dira. Orang yang akan merawatku. Dira, ini Hyun Naa dan ini Lee. Atas perintah saya, jangan panggil mereka dengan embel-embel tuan muda atau apalah.You Understand?
Yes, sir. I’m understand.”aku menjawab sesuai dengan apa yang diminta.
She can speak english?”Hyun Naa bertanya kepada Tara.
Yes, i can.”tanpa menunggu jawaban dari tara aku menjawab pertanyaan dari Hyun Naa.
“Aku mau masuk dulu, Jet Lag.”sombong sekali lelaki yang satu ini. Puji sedikit kemampuanku berbahasa ini.
“Aku juga, have fun. Bye Dira.”aku mengangguk dengan ramah. Aku mendorong kembali kursi roda Tara menuju ke sebuah taman yang ada disekitar rumah. Begitu kami sampai disana, puluhan bunga menebar aromanya yang sangat khas. Yang paling menonjol adalah aroma melati.
“Dulu waktu aku kecil, aku suka sekali sama aroma taman ini. Sangat menyejukkan hati.”ceritanya secara tiba-tiba.
“Oh ya?”aku memperhatikan kedua kakinya yang terkulai dengan lemas.”Pernah enggak sih, kakimu itu di gerakin disaat pagi hari?”lanjutk lagi.
“Eh?”dia terkejut dengan pertanyaanku. Aku mengulurkan kedua tanganku untuk mengajaknya berdiri, tapi dia sepertinya enggan. Aku mencubit kakinya dengan kuat.
“Bagaimana rasanya?”
“Mati rasa, tidak sakit sedikitpun.”jawabnya dengan rona wajah yang sedih. Aku mempunyai ide yang lumayan gila. Tapi aku berharap ini berhasil.
“Sudah pernah dikasih obat tradisional belum?”tanyaku kembali.
“Heh, sedangkan obat dokter saja tidak mempan. Apalagi obat tradisional.”tuturnya sepele.
“Tunggu sebentar disini, jangan kemana-mana. Oke.”aku berlari menuju ke dapur melalui jalan yang menurutku jalan pintas. Sesampainya didapur aku melihat Ryan tengah sibuk mempersiapkan sarapan, sepertinya.
“Hai, Dira. Untung saja kamu kemari. Aku butuh bantuanmu memasak martabak mie seperti yang kamu buat semalam. Tapi tidak berhasil juga.”keluhnya kepadaku.
“Oke, aku akan membantumu. Tapi kamu bantu mengerjakan tugasku. Bagaimana?”
“Apa tugasnya?”aku mejelaskan kepadanya untuk menumbuk jahe sampai halus dan memanaskan air, lalu dituang kedalam botol kaca. Dia pun menyetujuinya. Tak sampai 15 menit aku mengerjakan tugasku, begitupun Ryan.
“Tapi, ngomong-ngomong jahe dan air panas itu untuk apa?”tanyanya dengan nada heran.
“Hm, ada deh.”aku berlari cuek tidak memperdulikan keadaan disekelilingku. Aku menuju ketempat Tara berada, tapi Tara dimana? Kok tidak ada? Aku menyisiri seluruh isi taman. Tapi tidak ada. Ketika aku memutuskan untuk kembali kedapur, aku mendengar suara nyanyian. Ya, itu pasti Tara. Aku mendengar suara itu dengan sangat jelas. Nyanyian yang sangat menyentuh. Aku menghampirinya, tapi dia tak sendiri. Dia bersama dengan Hyun Naa.
“Permisi.”kataku sopan.
“Urrgh, kenapa kamu lama sekali. Aku mau mati kebosanan disini.”ujarnya dengan wajah kesal. Hyun Naa hanya tersenyum.
“Maaf. Aku mencari-cari ternyata kamu ada disini.”dia melihatku memegang jahe dan air. Belum sempat dia bertanya aku langsung memberi argument tentang jahe.”Oh, ini. Jahe dan air panas.”aku menuju kebagian kakinya. Aku mencubitnya sekali lagi, tapi dia berkata tidak ada rasa sakit sedikitpun. Sampai lima kali aku mencobanya, tapi hasilnya nihil. Aku mencoba menggerak-gerakkan kakinya.
               Karena tak ada reaksi, aku mengguling-gulingkan botol yang berisi air panas kebagian kaki. Dia tak merasa apapun. Dan terakhir aku membalur adonan jahe kebagian kakinya yang sakit dengan membaca salawat. Dia heran, tapi tidak memberontak terhadap apa yang aku lakukan. Dia hanya diam, begitupun dengan Hyun Naa. Aku membalutnya dengan kain kasa yang telah aku persiapkan.
“Kamu yakin ini berhasil Dira?”tanya Hyun Naa.
“Mudah-mudahan mbak. Semua harus dilakukan dengan usaha yang kuat. Biar lambat tapi bisa sembuh.”jawabku polos. Tara hanya diam memperhatikan pembicaraan kami.
“Ya, aku berharap begitu. Mama sama Papa juga sudah tidak punya pilihan lain lagi. Semua dokter diseluruh benua yang terbaik sudah didatangi. Tapi hasilnya enggak ada.”
“Kita hanya berusaha dan berdo’a mbak. Yang dia atas menentukan.”bagai seorang ustadzah aku menjawab pertanyaan dari Hyun Naa. Dia membalas pernyataanku dengan senyuman. Dalam waktu yang cukup lama kami bertiga diam dalam bisu.
               Tiba-tiba aku dikejutkan dengan teriakan dari bu Nunik, ya ampun. Kenapa sih nenek tua itu selalu mengganggu keheninganku. Menggeramkan sekali. Bukan, sangat menjengkelkan.
“Maaf Mbak, saya harus pergi menemui bu Nunik.”ujarku seraya berharap mereka melarangku untuk pergi dari sini.
               Mereka berdua hanya saling bertatap-tatapan. Seakan ada yang ingin ditanyakan.
“Jangan! Kamu disini aja. Tidak usah terlalu diperdulikan bu Nunik. Dia pasti paham kalau kamu sedang merawat Mas Tara. Lagi pula tugas kamu memang itukan?”ucapnya kepadaku sembari bertanya.
“Iya sih Mbak. Tapi saya enggak enak saya pembantu yang, kalau kerja saya cuma merawat tuan Tara.”kali ini Tara hanya diam ketika aku menyebutnya dengan embel-embel tuan.
“Kalau begitu kamu juga harus merawat aku dan Hyun Naa. Bagaimana?”usul seseorang yang secara tiba-tiba berada dibelakang kami.
“Haa? Tapikan kalian sangat sehat. Kalau Tara-kan sedang sakit, wajar kalau dia dirawat.”sergahku dengan cepat. Mendingan aku disuruh merawat Tara bertahun-tahun dari pada aku harus disuruh untuk merawat Lee. Bisa-bisa aku mati berdiri.
“Jadi, kalau sehat kamu tidak mau mengurus kami?”tanya-nya lagi.
“Bukan begitu, saya tidak handal dalam merawat perilaku tapi saya handal dalam merawat fisik.”kata-kata yang terlontar dari mulutku seakan kecaman yang tajam untuknya.
“APA? Kamu bilang apa barusan? Kamu menyindir saya?”tanya-nya dengan nada ketus.
“Bukan begitu, tapi menurut saya itu memang suatu kebenaran.”aku menjawab sesuai dengan kenyataan.
“Atas dalil apa kamu mengatakan saya begitu? Haa?”aku melirik kearah Tara dan Hyun Naa tertawa. Mungkin dia heran terhadap ucapan adiknya yang satu ini.
“Anda benar-benar ingin mengetahuinya?”tanyaku kembali dengan rona wajah serius.
Yes, i want. Tell me right now!!
“Oke,when you  get out from car,  i look you are very arrogant, stay cool, i mean very stay cool. Your face isn’t smile. VERY BAD! I think you are a human that very sad in the world. VERY SAD. Just it!”aku menekankan pada dua kata yaitu VERY BAD dan VERY SAD.
“Oh ya? Kamu adalah perempuan pertama yang mengatakan hal itu kepadaku. Semua wanita tertarik padaku. Aku tampan, kaya, pintar, anything i have.”ujarnya menyombongkan.
But, you don’t have a love.Excuse me. Ayo Tara, waktunya sarapan, saya akan buatkan soup. Sudah jam 09.00 wib.”aku melihat jam tanganku. Aku mendorong kursi roda menuju kerumah.
“Maafin adikku ya.”Hyun Naa mengagetkanku dari belakang. Dia tersenyum lalu pergi begitu saja.
“Tapi Lee itu baik kok.”Tara melanjutkan perkataan Hyun Naa.”Dia memang agak manja, dari kami bertiga dialah yang paling kurang kasih sayang. Itulah yang membuat dia menjadi lebih kekanak-kanakan.”tumben banget Tara ngomongnya lembut, sambil tersenyum pula.
“Iya, aku tau. Tapi dia enggak bisa dibiarkan begitu saja dong. Bisa-bisa dia enggak jadi orang yang mandiri. Anak terakhir mah anak terakhir, tapi kalau tingkahnya seperti itu mana bisa jadi orang.”tuturku panjang lebar tanpa memperdulikan status diantara kami.
“Kamu tau enggak, dari semua pembantu yang merawat aku. Cuma kamu yang berani ngomong seperti itu. I like it.”dia tersenyum. Dan senyum maniiisss sekali.
“Pembantukan juga manusia, punya akal pikiran yang bisa diungkapkan.”
“Oia, kamu anak bisnis kan?”
“Iya, mau berapa kali aku mengulangnya?”
“Berarti kamu pintar dalam hanya menciptakan sesuatu barang?”tanyanya kembali.
“Ya, seperti itulah.”
“Kamu mau tidak membantuku?”
“Boleh, but you must be breakfast. Oke?”dia tertawa melihatku. Entah dimana lucunya akupun tak mengetahuinya.
               Aku menuju kedapur, kenapa hening ya. Tidak ada satupun orang dirumah ini.
“Kamu kemana saja? Dipanggil-panggil kenapa tidak menyahut?”suara bu Nunik mengejutkanku.
“Oh, anuu bu. Saya lagi bersama tuan Tara. Jadi saya tidak mendengarnya.”
               Suasana hening terasa diantara kami berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar