Rasanya baru sekejap aku merebahkan
badan alarm sialan yang ada diruangan tengah rumah (sepertinya) berbunyi dengan
kerasnya.Aku melihat jam di layar ponsel abal-abal yang kumiliki.
“Ahh, masih jam 05.00 Shubuh.
Masih ngantuk. Hooaaaamm..”saat aku mau memejamkan mata kembali, ketuka pintu
yang agak kuat terdengar dengan begitu keras.”Siapa sih? Masuk.”
“Kamu udah bangun? Aku kira kamu
belum bangun. Ayo cepat, hari ini kamu akan aku tunjukkan ruangan yang ada
dirumah ini. Sebelum bu Nunik bangun.”
“Oh, kamu Lusy. Aku kira sinenek
sihir. Emang bu Nunik bangun jam berapa?”tanyaku seketika.
“Bu Nunik biasa bangun jam 06.30,
jadi sebenarnya masih ada sih waktu untuk tidur bagi pembantu yang lain. Tapi,
kalau dia sampai tahu siap-siap deh dipecat.”jawabnya panjang lebar.
“Oh, oke. Tapi aku sholat shubuh
dulu ya. Enggak enak rasanya kalau kerja tidak diawali dengan sholat dipagi
hari.”pintaku pada Lusy.
“Oke, aku tunggu disini
saja.”jawabnya dengan senyuman tipis.
               Seusai
melaksanakan ibadah sholat shubuh, Lusy langsung mengantarkanku keruangan yang
ada diseluruh rumah.
“Aku dengar kamu masih kuliah
ya?”ungkapnya membuka pembicaraan kami dipagi itu.
“Oh, iya.” aku menjawab sembari
tersenyum.
“Kita mulai dari lantai pertama
ya, kamu pastinya sudah tau dimana dapur?”aku hanya mengangguk menandakan kalau
aku sudah mengetahuinya.”Nah, yang ini ruang tamu. Ini ruang tamu utama,
sebenarnya ada tiga tapi yang paling besar adalah yang ini.”tunjuknya kearah
ruang tamu. Ini sih bukan ruang tamu, tapi ini namanya ruang penyambutan bapak
presiden.  Bukan besar lagi, tapi sangat
besar. Diluar dugaanku, kemarin malam aku mengira ruangan ini adalah ruangan
khusus acar-acara besar saja dipergunakan.
“Nah, yang ini adalah
perpustakaan. Benar-benar besar ya. Semua berbau bahasa Korea dan Jepang, aku
saja sampai tidak mengerti artinya.”
“Oh, dulu sewaktu orang tua aku
masih ada. Aku pengin banget punya perpustakaan sendiri, tapi sayang semua
hanyalah khayalan saja.”
“Maaf ya, jadi kesitu
pengarahan-nya.”dia menatapku layaknya orang yang butuh bantuan.”Nah kalau yang
ini adalah ruangan antik, kalau ruangan ini ada yang merawatnya kok. Jadi kita
enggak usah repot-repot untuk merawatnya.”barang-barang ini saja harganya bisa
mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta.rupiah.
“Harganya setara dengan perumahan
elit di Jakarta. Sungguh menegangkan bagi yang mengerjakan-nya.”
“Sangat menegangkan Dira. Aku
saja terkadang sampai merinding bagaimana kalau barang-barang ini sampai pecah.
Bisa-bisa kita jadi pembantu seumur hidup disini tanpa digaji. Bahkan itupun
tidak mencukupi untuk menggantinya.”aku sangat menyetujui perkataan Lusy ini.
               Satu
jam lebih kami berjalan-jalan mengitari rumah ini, sangat melelahkan. Badanku
saja sampai bau keringat. Aku langsung menuju kekamar mandi untuk membersihkan
diri, ketika aku masuk kekamar jantungku bagai tersambar petir.
“AAAAAAA...”teriakku.”Ngapain
kamu disini, keluar! Keluar dulu!”aku mendorong kursi rodanya tanpa perduli
ekspresinya. Tak sampai 15 menit aku berpakaian, aku membuka pintu dan melihat
tuan muda ini masih ada diluar kamarku.
“Tubuhmu seksi juga, bagus
lagi.”aku hanya menelan ludah mendengar ucapan-nya yang sangat spontan
itu.”Tapi maaf, aku tidak tertarik. Katamu aku mau diajak keluar rumah. Tapi
sekarang sudah jam 07.30 wib. Kamu lupa?”
“Saya enggak lupa. Tapi pura-pura
lupa.”singkat tapi aku harap dia mengerti dengan ucapanku tadi.
“Aku tidak perduli, yang penting
ajak aku keluar rumah sekarang juga.”sebenarnya aku malas untuk keluar rumah
bersamanya. Tapi apa boleh buat, berhubung itu janji dan tugasku sebagai
pembokatnya.
               Ikhlas
tak ikhlas aku mendorong kursi rodanya, tepat sampai dipintu depan rumah sebuah
mobil sedan mewah berhenti. Aku melihat ekspresi Tara berubah, wajahnya seperti
lebih cerah.
“Haii, kalian lebih cepat dari
dugaan.”seorang perempuan cantik berambut hitam kecoklatan keluar dari mobil
dan menyambangi Tara. Aku hanya tersenyum, tapi kok mobilnya tidak jalan-jalan
juga. Aku menatap wajah Tara dengan seksama.
“Yes, we want suprise to us brother.”ucap wanita ini dengan
lembutnya. Senyumnya bagai bulan sabit, siapa sih lelaki yang tidak akan
menyukainya.
“And. You get it. Thank you, where’s Lee? I missed him.”ternyata
tepat dugaan ku. Perempuan cantik ini adalah Hyun Naa.
“I’m here brother.”aku mendengar suara berat tepat disampingku.
Subhanallah, tampan sekali. Tidak jauh beda dengan Tara. Betul-betul keluarga
yang sempurna.
“I miss you so much.Oh, ya. Kenalkan ini Dira. Orang yang akan
merawatku. Dira, ini Hyun Naa dan ini Lee. Atas perintah saya, jangan panggil
mereka dengan embel-embel tuan muda atau apalah.You Understand?”
“Yes, sir. I’m understand.”aku menjawab sesuai dengan apa yang
diminta.
“She can speak english?”Hyun Naa bertanya kepada Tara.
“Yes, i can.”tanpa menunggu jawaban dari tara aku menjawab
pertanyaan dari Hyun Naa.
“Aku mau masuk dulu, Jet Lag.”sombong sekali lelaki yang satu
ini. Puji sedikit kemampuanku berbahasa ini.
“Aku juga, have fun. Bye Dira.”aku mengangguk dengan ramah. Aku mendorong
kembali kursi roda Tara menuju ke sebuah taman yang ada disekitar rumah. Begitu
kami sampai disana, puluhan bunga menebar aromanya yang sangat khas. Yang
paling menonjol adalah aroma melati.
“Dulu waktu aku kecil, aku suka
sekali sama aroma taman ini. Sangat menyejukkan hati.”ceritanya secara
tiba-tiba.
“Oh ya?”aku memperhatikan kedua
kakinya yang terkulai dengan lemas.”Pernah enggak sih, kakimu itu di gerakin
disaat pagi hari?”lanjutk lagi.
“Eh?”dia terkejut dengan
pertanyaanku. Aku mengulurkan kedua tanganku untuk mengajaknya berdiri, tapi
dia sepertinya enggan. Aku mencubit kakinya dengan kuat.
“Bagaimana rasanya?”
“Mati rasa, tidak sakit
sedikitpun.”jawabnya dengan rona wajah yang sedih. Aku mempunyai ide yang
lumayan gila. Tapi aku berharap ini berhasil.
“Sudah pernah dikasih obat
tradisional belum?”tanyaku kembali.
“Heh, sedangkan obat dokter saja
tidak mempan. Apalagi obat tradisional.”tuturnya sepele.
“Tunggu sebentar disini, jangan
kemana-mana. Oke.”aku berlari menuju ke dapur melalui jalan yang menurutku
jalan pintas. Sesampainya didapur aku melihat Ryan tengah sibuk mempersiapkan
sarapan, sepertinya.
“Hai, Dira. Untung saja kamu
kemari. Aku butuh bantuanmu memasak martabak mie seperti yang kamu buat semalam.
Tapi tidak berhasil juga.”keluhnya kepadaku.
“Oke, aku akan membantumu. Tapi
kamu bantu mengerjakan tugasku. Bagaimana?”
“Apa tugasnya?”aku mejelaskan
kepadanya untuk menumbuk jahe sampai halus dan memanaskan air, lalu dituang
kedalam botol kaca. Dia pun menyetujuinya. Tak sampai 15 menit aku mengerjakan
tugasku, begitupun Ryan.
“Tapi, ngomong-ngomong jahe dan
air panas itu untuk apa?”tanyanya dengan nada heran.
“Hm, ada deh.”aku berlari cuek
tidak memperdulikan keadaan disekelilingku. Aku menuju ketempat Tara berada,
tapi Tara dimana? Kok tidak ada? Aku menyisiri seluruh isi taman. Tapi tidak
ada. Ketika aku memutuskan untuk kembali kedapur, aku mendengar suara nyanyian.
Ya, itu pasti Tara. Aku mendengar suara itu dengan sangat jelas. Nyanyian yang
sangat menyentuh. Aku menghampirinya, tapi dia tak sendiri. Dia bersama dengan
Hyun Naa.
“Permisi.”kataku sopan.
“Urrgh, kenapa kamu lama sekali.
Aku mau mati kebosanan disini.”ujarnya dengan wajah kesal. Hyun Naa hanya
tersenyum.
“Maaf. Aku mencari-cari ternyata
kamu ada disini.”dia melihatku memegang jahe dan air. Belum sempat dia bertanya
aku langsung memberi argument tentang jahe.”Oh, ini. Jahe dan air panas.”aku
menuju kebagian kakinya. Aku mencubitnya sekali lagi, tapi dia berkata tidak
ada rasa sakit sedikitpun. Sampai lima kali aku mencobanya, tapi hasilnya
nihil. Aku mencoba menggerak-gerakkan kakinya.
               Karena
tak ada reaksi, aku mengguling-gulingkan botol yang berisi air panas kebagian
kaki. Dia tak merasa apapun. Dan terakhir aku membalur adonan jahe kebagian
kakinya yang sakit dengan membaca salawat. Dia heran, tapi tidak memberontak terhadap
apa yang aku lakukan. Dia hanya diam, begitupun dengan Hyun Naa. Aku
membalutnya dengan kain kasa yang telah aku persiapkan.
“Kamu yakin ini berhasil Dira?”tanya
Hyun Naa.
“Mudah-mudahan mbak. Semua harus
dilakukan dengan usaha yang kuat. Biar lambat tapi bisa sembuh.”jawabku polos.
Tara hanya diam memperhatikan pembicaraan kami.
“Ya, aku berharap begitu. Mama
sama Papa juga sudah tidak punya pilihan lain lagi. Semua dokter diseluruh
benua yang terbaik sudah didatangi. Tapi hasilnya enggak ada.”
“Kita hanya berusaha dan berdo’a
mbak. Yang dia atas menentukan.”bagai seorang ustadzah aku menjawab pertanyaan
dari Hyun Naa. Dia membalas pernyataanku dengan senyuman. Dalam waktu yang
cukup lama kami bertiga diam dalam bisu.
               Tiba-tiba
aku dikejutkan dengan teriakan dari bu Nunik, ya ampun. Kenapa sih nenek tua
itu selalu mengganggu keheninganku. Menggeramkan sekali. Bukan, sangat
menjengkelkan.
“Maaf Mbak, saya harus pergi
menemui bu Nunik.”ujarku seraya berharap mereka melarangku untuk pergi dari
sini.
               Mereka
berdua hanya saling bertatap-tatapan. Seakan ada yang ingin ditanyakan.
“Jangan! Kamu disini aja. Tidak
usah terlalu diperdulikan bu Nunik. Dia pasti paham kalau kamu sedang merawat
Mas Tara. Lagi pula tugas kamu memang itukan?”ucapnya kepadaku sembari
bertanya.
“Iya sih Mbak. Tapi saya enggak
enak saya pembantu yang, kalau kerja saya cuma merawat tuan Tara.”kali ini Tara
hanya diam ketika aku menyebutnya dengan embel-embel tuan.
“Kalau begitu kamu juga harus
merawat aku dan Hyun Naa. Bagaimana?”usul seseorang yang secara tiba-tiba
berada dibelakang kami.
“Haa? Tapikan kalian sangat
sehat. Kalau Tara-kan sedang sakit, wajar kalau dia dirawat.”sergahku dengan
cepat. Mendingan aku disuruh merawat Tara bertahun-tahun dari pada aku harus
disuruh untuk merawat Lee. Bisa-bisa aku mati berdiri.
“Jadi, kalau sehat kamu tidak mau
mengurus kami?”tanya-nya lagi.
“Bukan begitu, saya tidak handal
dalam merawat perilaku tapi saya handal dalam merawat fisik.”kata-kata yang
terlontar dari mulutku seakan kecaman yang tajam untuknya.
“APA? Kamu bilang apa barusan?
Kamu menyindir saya?”tanya-nya dengan nada ketus.
“Bukan begitu, tapi menurut saya
itu memang suatu kebenaran.”aku menjawab sesuai dengan kenyataan.
“Atas dalil apa kamu mengatakan
saya begitu? Haa?”aku melirik kearah Tara dan Hyun Naa tertawa. Mungkin dia
heran terhadap ucapan adiknya yang satu ini.
“Anda benar-benar ingin
mengetahuinya?”tanyaku kembali dengan rona wajah serius.
“Yes, i want. Tell me right now!!”
“Oke,when you  get out from car,  i look you are very arrogant, stay cool, i
mean very stay cool. Your face isn’t smile. VERY BAD! I think you are a human
that very sad in the world. VERY SAD. Just it!”aku menekankan pada dua kata
yaitu VERY BAD dan VERY SAD.
“Oh ya? Kamu adalah perempuan
pertama yang mengatakan hal itu kepadaku. Semua wanita tertarik padaku. Aku
tampan, kaya, pintar, anything i have.”ujarnya
menyombongkan.
“But, you don’t have a love.Excuse me. Ayo Tara, waktunya sarapan,
saya akan buatkan soup. Sudah jam 09.00 wib.”aku melihat jam tanganku. Aku
mendorong kursi roda menuju kerumah.
“Maafin adikku ya.”Hyun Naa
mengagetkanku dari belakang. Dia tersenyum lalu pergi begitu saja.
“Tapi Lee itu baik kok.”Tara
melanjutkan perkataan Hyun Naa.”Dia memang agak manja, dari kami bertiga dialah
yang paling kurang kasih sayang. Itulah yang membuat dia menjadi lebih
kekanak-kanakan.”tumben banget Tara ngomongnya lembut, sambil tersenyum pula.
“Iya, aku tau. Tapi dia enggak
bisa dibiarkan begitu saja dong. Bisa-bisa dia enggak jadi orang yang mandiri.
Anak terakhir mah anak terakhir, tapi kalau tingkahnya seperti itu mana bisa
jadi orang.”tuturku panjang lebar tanpa memperdulikan status diantara kami.
“Kamu tau enggak, dari semua
pembantu yang merawat aku. Cuma kamu yang berani ngomong seperti itu. I like it.”dia tersenyum. Dan senyum
maniiisss sekali.
“Pembantukan juga manusia, punya
akal pikiran yang bisa diungkapkan.”
“Oia, kamu anak bisnis kan?”
“Iya, mau berapa kali aku
mengulangnya?”
“Berarti kamu pintar dalam hanya
menciptakan sesuatu barang?”tanyanya kembali.
“Ya, seperti itulah.”
“Kamu mau tidak membantuku?”
“Boleh, but you must be breakfast. Oke?”dia tertawa melihatku. Entah dimana
lucunya akupun tak mengetahuinya.
               Aku
menuju kedapur, kenapa hening ya. Tidak ada satupun orang dirumah ini.
“Kamu kemana saja?
Dipanggil-panggil kenapa tidak menyahut?”suara bu Nunik mengejutkanku.
“Oh, anuu bu. Saya lagi bersama
tuan Tara. Jadi saya tidak mendengarnya.”
               Suasana
hening terasa diantara kami berdua.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar