Belum sampai dua langkah aku
berjalan, tiba-tiba tanganku ditarik. Aku terkejut, karena refleks aku
melepaskan-nya.
“Tunggu!”ya Tuhan, aku pertama
kali mendengar suara yang sangat begitu indah. Aku termangu dengan
panggilan-nya. “Jangan keluar! Kamu disini saja.”singkat memang. Tapi itu cukup
membuatku mengerti. Aku hanya mengangguk tanda menyetujui permintaan tuan
mudaku ini.
“Temani aku sampai tertidur dalam
lelap ini.”lanjutnya lagi.
“Baik tuan muda.”jawabku dengan
polosnya.
“Tara..Panggil saja aku Tara,
tidak usah memakai embel-embel tuan muda.”matanya menunjukkan suatu penderitaan
yang sangat dalam.
“Baik tuan, eh Tara. Seperti yang
saya bilang tadi, nama saya Dira.”kata-kataku semrawut.
“Aku tahu.”senyum-nya sinis.
“Oh, Emm..tuan, bagaimana kalau
besok tuan saya ajak kesuatu tempat yang jauh dari dugaan tuan?”ucapku panjang
lebar.
“TARA!! Namaku TARA bukan TUAN.
MENGERTI KAMU!!”senggak-nya dengan nada yang sangat keras. Membuat jantungku
hampir saja hilang dari peredaran.
“Baik Tara, baik. Aku akan
memanggil kamu Tara, tapi dengan satu syarat.”pintaku padanya.
“Apa? Apa syaratnya?”jawaban yang
diberikan-nya seakan menantang.
“Kamu harus ikut kemana aku
mengajak besok? Bagaimana?”
“Oke, aku mau.”sangat cepat
jawaban itu diberikan padaku.”Sekarang aku mau tidur, bantu aku ketempat tidur.”tanpa
menjawab aku langsung mendorong kursi rodanya menuju ketempat tidur. Andai saja
tuan muda ini tidak lumpuh, pasti dia adalah lelaki yang banyak digandrungi
wanita. Wajah tampan, tubuh berbidang, bibir yang menggoda, dan sejumlah
kekayaan serta kepintaran yang luar biasa.
“Tunggu aku sampai tertidur, baru
kamu boleh keluar kamar.”aku hanya mengangguk tanda setuju. Sembari menunggunya
tertidur, aku melihat—lihat isi kamar ini. Kamar yang luas, bahkan sangat luas.
Aku melihat perpustakaan kecil yang ada disudut kamar. Mataku tertuju pada
salah satu buku yang berjudul Time Management. Time management? Apakah mungkin
dia seorang yang sangat disiplin?
            Dengan
perlahan aku melangkah menuju keperpustakaan itu, aku penasaran apa sih isi
dari buku ini. Aku membuka buku ini, yang ternyata isinya bukan bukan cetakan
penerbit tetapi hanya buku dari tulisan tangan dengan kata lain ini adalah
sebuah diary.
Aku mulai membaca dari awal  halaman.
            Januari, 12th 2010.
            My
name is Tara. Tara Kim. Aku adalah anak dari Tony Kim dan Mariana Kim, anak
pertama dari tiga bersaudara. Sekarang aku lagi menyelesaikan study yang hampir
saja selesai. Aku mempunyai seorang pacar, dia sangat cantik. Tapi menurutku
akan lebih cantik teman masa kecilku dulu, tapi sayang aku sudah lama tak bertemu
dengan-nya. Ah, sudahlah. 
            Mempunyai
orang tua yang kaya raya, terkadang tidak membuatku merasa nyaman. Ada saja
ujian yang harus kuhadapi, banyak sekali yang merasa iri. Aku rindu masa-masa
kecilku bersamanya. Tapi, apakah dia mengingatku? Ah, that’s imposible. Sangat
enggak mungkin.Oh, iya. Aku hampir lupa menceritakan tentang pacarku. Namanya
Shirny, dia anak dari sahabat Mama yang di Jepang. Dia sekolah di ITT(Institute
Technology Tokyo). Selain pintar dia juga very beautiful. Walau jarang
berjumpa, tapi disaat aku libur semester dengan gembira aku mengunjunginya. Aku
rasa, sekarang sudah larut malam. Saatnya aku merebahkan diri dan menidurkan
mata untuk sejenak saja. Aku hanya berharap esok aku dapat bertemu dengan-nya.
Tara.
Aku membuka halaman selanjutnya,
halaman pertama saja aku sudah dibuat penasaran. Apalagi dengan halaman
selanjutnya. 
            Januari,
14th 2009
Dua hari tidak menceritakan pengalaman,
rasanya bagai tidur tertimpa bebatuan yang besar. Ya, menulis adalah salah satu
hobby yang tak bisa hilang dari kebiasaanku. Hari ini tiada yang spesial, hanya
satu yang spesial kedatangan Mama dan Papa dari Amerika. Urusan bisnis yang tak
bisa ditunda-tunda lagi. Serta kedatangan adik laki-lakiku, Kim Hwa Lee. Aku
biasa memanggilnya Lee. Singkat tapi mempunyai makna. Tetapi teman-temannya
memanggil Kim Hwa. Dia lebih mencintai Korea dari pada Jepang. Sedangkan aku
mencintai Indonesia, negara dimana aku dilahirkan. Dan aku bersyukur atas itu. Negara
ini mempunyai sejuta pesona. Kitomataiitsuka, instrument yang aku dengarkan
berulang-ulang saat menulis semua kegundahan dihatiku. Rasa rindu datang
kembali, sangat rindu. Dimanakah kau duhai kekasihku?Lelah menyertaiku, rasanya
aku ingin melayang kealam mimpi. Aku hanya
berharap esok aku dapat bertemu dengan-nya.
Tara.
            February,
15th 2010
            Dalam
waktu yang sangat lama ceritaku terpotong oleh waktu, sekarang keadaan tak sama
lagi dengan satu bulan yang lalu. Kejadian itu hampir saja merenggut nyawaku.
Ya, tepat pada usia ke-17 tahun pacarku yang sekarang sudah menjadi mantan
pacarku Shirny. Susah payah aku mencari cara untuk membuat surprise kepadanya.
Aku meminta bantuan kepada orang tuanya bahkan pembantunya. Perbuatan konyol,
ya sangat konyol. Hanya untuk membuatnya aku bahagia saja bisa melupakan akal
sehatku yang sekarang kurasakan akibatnya. Malam itu tanggal 15 Januari 2010.
            Dengan
perasaan yang tak karuan aku menunggunya, menyiapkan segala rupa agar
membuatnya bahagia. Dari cake aku memesan yang paling bagus seantero Jakarta.
Tempat yang paling indah di Jakarta. Semua serba nomor satu di Jakarta. Tapi
dengan semua ke-nomorsatuan itu, semuanya dibalas dengan satu kata “PUTUS”.
Tentu saja hal itu sontak membuatku kaget. Tak ayal 15 menit aku menunggu,
akhirnya gadis yang kupacari sejak 2 tahun lalu datang juga. Tapi dia tak
sendiri, dia datang seorang laki-laki yang tak kukenal. Malam itu bagai guntur
yang menyergap seluruh tubuhku. Dengan bodohnya aku mencium pipinya untuk
terakhir kalinya. Tiada airmata. Hanya kesedihan saja yang sampai saat ini
kurasakan. Entah setan apa yang merasuki tubuhku the accident pada malam itu
membuatku lumpuh pada bagian kaki yang sampai saat ini kurasakan. Kalau saja
aku tidak melakukan kebut-kebutan pasti aku masih bisa berjalan saat ini. Ah,
bukan. Kalau saja aku tak memacarinya dua tahun lalu aku pasti tak akan seperti
ini. Betapa bodohnya aku saat itu.
            Orang
merasa paling bersalah adalah Mama, mama merasa telah mengantarkan anaknya
sendiri pada kesengsaraan. Mama mengutuk dirinya sendiri untuk tidak menawarkan
wanita lagi kepadaku. Dan Shirny, aku tak tahu bagaimana kabarnya. Sejak satu
bulan ini dia tidak pernah melihatku, jangankan melihat menanyakan kabar saja
sepertinya dia enggan. Aku berusaha untuk sembuh, tapi sepertinya semua itu
sia-sia. Aku hanya pasrah akan tubuhku sekarang ini. Aku hanya berharap esok
aku dapat bertemu dengan-nya.
Tara.
            February,
15th 2011
            Ah,
malam yang indah. Maafkan aku diary yang baru teringat untuk mengisimu kembali
dengan guratan hatiku yang semakin pedih. Dan kondisiku masih sama dengan satu
tahun yang lalu. Lumpuh dan tak berdaya, aku tak mampu untuk berjalan. Pantatku
rasanya sudah sangat gatal untuk melakukan aktivitas layaknya orang normal. Rasanya
pasti sangat indah. Ya Tuhan, aku sudah berputus asa dengan dengan kehidupan
ini. Lelah rasanya menunggu sesuatu yang tidak mungkin. Harapan itu selalu
kosong. Letih untuk berkata-kata, letih untuk menyapa, letih untuk segalanya.
            Sore
ini langit seakan ingin menunjukkan kharismanya, langit cerah dengan rona
kemerahan mengingatkan aku dengan kejadian beberapa tahun silam. Ah, gadis itu
masih sangat belia. Dia selalu membuat aku tertawa disaat aku sedih. Sudahlah,
aku tak mau mengingatnya kembali. Tapi, aku hanya berharap esok aku dapat
bertemu dengan-nya.
Tara.
Aku membalik-balik lagi, tapi
kenapa halaman selanjutnya tidak ada aku temukan. Aku melihat bekas robekan
dipinggir buku ini, ternyata dia merobek diary. Sayang sekali, padahal aku
berharap bisa membaca lebih jauh tentang kehidupan-nya.
“Lelaki yang malang.”gumamku. Dan
aku memperhatikan-nya yang sudah tertidur dengan lelapnya. Sungguh tampan.
Sangat tampan. Kenapa aku ini? Aku hanya pembantu yang tiada apa-apanya dengan
orang-orang kaya ini. Aku melangkah keluar kamar dengan perlahan. And GREAT!!
Aku berhasil. Satu langkah lagi, menutup pintu.
“Mau kemana kamu?”Oh my God,
kenapa dia bisa bangun? Aku kembali masuk dengan senyuman khasku.”Enggak usah
senyum-senyum. Tetap aja kamu jelek.”bagai disambar petir tubuhku. Kontan saja
senyumku hilang dengan begitu saja.
“Aku enggak pergi, cuma mau kedapur
doang kok. Aku lapar belum makan.”hanya itu jawaban yang bisaaku utarakan
dengan baik dan sesuai dengan situasi.
“Di mini refrigerator ada makanan, coba aja lihat.”menunjuk kearah
kulkas mini yang ada dikamar tuan muda ini.
“Iya.”aku membuka tutup kulkas.
Isinya sangat padat, dari makanan instant sampai buah-buahan. Aku mengambil mie
instant yang hanya diseduh dengan air panas. Aku duduk dikursi berhadapan
dengan tempat tidur tuan mudaku ini.
“Kamu kuliah dimana?”tanya-nya
mendadak.
“Oh, di University of Jakarta. Semester 4. Kamu kok tahu kalau aku kuliah?”
“Dari cara bicaramu. Jadi kamu
kerja disini untuk biaya kuliah? Orang tua kemana?”
“Iya, orang tuaku sudah meninggal
tiga tahun yang lalu. Sedangkan aku anak tunggal. Tidak punya saudara dekat.
Jadi pembantu adalah satu-satunya jalan terakhir untuk hidup.”
“Oh.”jawaban yang sangat
singkat.”Aku punya dua orang adik, yang satu namanya Kim Hwa Lee dan yang satu
bernama Kim Hyun Naa. Mereka sekarang lagi kuliah di Korea. Ya, rencananya
mereka akan tiba dua hari lagi. Bertepatan dengan ulang tahunku yang kedua
puluh.”kali ini penjelasan-nya cukup panjang.
“Pasti adik-adik kamu mirip
seperti kamu?” tanyaku dengan singkat.
“Hemm, tidak. Yang mirip
perangainya dengan aku hanya Hyun Naa, sedangkan Lee jauh berbeda. Dia masih
muda. Usianya masih 18 tahun. Jadi masih sangat manja. Kami terlahir memang
sangat rapat. Mama dan Papaku jarang ada dirumah besar ini. Rumah ini hanya
menjadi sarang pembantu seperti kalian.”kata-kata ini sungguh menyinggung
perasaanku.
“Maksudmu apa?”
“Bukan bermaksud apa-apa, sudah
hampir seratus orang yang pernah bekerja dirumah ini. Bahkan mungkin lebih.
Tapi tak ada yang bertahan lebih dari dua tahun. Semuanya sama saja, pekerjaan
yang tidak becus. Penuh dengan kelalaian.”
            Aku
hanya terdiam dengan celotehan-nya yang sangat menyakitkan hati. Tapi aku
berusaha untuk tetap biasa saja. Aku tak perduli lagi dengan ocehan-nya. Aku
memakan mie yang sudah kuseduh dengan air panas.
“Aku mau mencobanya.”ujarnya
secara tiba-tiba. Aku terdiam, mataku mengarah padanya.
“Kamu mau? Aku buatin satu lagi
ya?”ide ini muncul disaat yang tepat.
“Tidak. Aku mau mencoba yang kamu
makan itu.”
“Tapi Tara?”langsung dia merebut
mie instant yang ada ditanganku dan langsung memakan-nya.
“Rasanya memang aneh, sangat
aneh. Buatan Korea memang jauh lebih enak.”tuturnya dengan senyuman yang
memuakkan.
            Sejenak
aku terdiam memperhatikan cara makan-nya yang sangat cekatan menggunakan
sumpit. Aiiih, kenapa aku bodoh sekali? Wajar saja dia cekatan, diakan
keturunan KoJep alias Korea Jepang. Sungguh beruntung nasibnya, walau dalam keadaan
sakit dia masih menikmati indah-nya kehidupan yang memberikan dia segalanya.
Uang, orang tua yang masih utuh, adik kakak, ketampanan, everything but me? Nothing. Terkadang aku merasa tidak adil. Ya
Tuhan, siapakah yang patut aku persalahkan? Aku? Mereka? ataukah Engkau?
Hmm..aku sungguh merasa kesepian.
            Teng..teng..teng..
“Sudah jam 00.00 wib? Maaf tuan,
saya harus kembali kekamar. Sangat tidak etis rasanya kalau saya dan tuan
berduaan diruangan ini. Saya permisi tuan.”tanpa menunggu komentar panjang-nya
aku langsung menuju kekamarku. Agar dia tak memanggilku kembali kepalaku enggan
untuk menoleh walau hanya 15 derajatpun.”Benar-benar sudah jam 00.00 wib, lama
sekali aku berada didalam kamar tersebut.”gumamku tanpa memperdulikan keadan
disekeliling yang sangat gelap. Tanpa menunggu sesuatu yang tidak diinginkan
aku langsung merebahkan tubuh ditempat tidur.
            Hari
ini adalah hari yang benar-benar mencekam, betul-betul penuh dengan kesesakan
dalam hati. Baru hari pertama bekerja saja sakitnya sudah seperti ini,
bagaimana kalau selanjutnya. Tapi aku tidak boleh berputus asa, demi kehidupan
dan demi biaya kuliah aku harus bertahan.
“Astaghfirullah, aku belum
sholat. Maafkan aku ya Allah yang melupakan kewajibanku.”kata-kata ini mengalir
begitu saja dari mulut.
            Dengan
sigap aku menuju kekamar mandi dekat kamarku, dengan perhitungan tepat aku
menemukan arah kiblat. Dalam sholat ini aku hanya meminta untuk dipertemukan
dengan Robin. Walau hanya sekali, itu saja ya Tuhan. Tiba-tiba mutiara indah
keluar dari mataku, pedih dan sedih yang kurasakan ini sangat menyakitkan.
            Lama
aku terdiam dalam renungan yang panjang, belum pernah aku merasakan kekhusyukan
dalam ibadah ini.
“Mama, Dira kangen. Pa, Dira
kangen. Bener-bener kangen. Masa enggak satupun yang merindukan Dira. Sampai
kapan Dira harus sendiri seperti ini? Dira sudah lelah, sakit rasanya kalau ada
orang yang bertanya tentang keluarga Dira. Dira bingung mesti gimana.”air mata
ini semakin jelas terasa. Usai mengeluarkan uneg-uneg dalam hati kepada sang
khalik, aku bergegas menuju tempat tidur. Tapi, aku merasa seperti ada yang
mengikutiku kedalam kamar. Tapi aku menepis bayangan ada dikepalaku. Aku
mencari sumber suara yang ada, perlahan demi perlahan langkahku semakin dekat
dengan sumber suara itu. Dan ternyata itu adalah bu Nunik? Bu Nunik? buat apa
beliau malam-malam begini kelantai atas? Mencari apa? Seribu pertanyaan keluar
dari kepalaku. Tapi aku tidak memperdulikan-nya, walau rasa penasaran itu
selalu menyergap otakku.
            Aku
melanjutkan langkahku menuju kamar, tubuh ini meronta-ronta untuk diletakkan
walau hanya sekejap saja, masih ada waktu empat 
jam lagi.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar