Selasa, 23 Oktober 2012

Lifes Never Die bagian dua


Belum sampai dua langkah aku berjalan, tiba-tiba tanganku ditarik. Aku terkejut, karena refleks aku melepaskan-nya.
“Tunggu!”ya Tuhan, aku pertama kali mendengar suara yang sangat begitu indah. Aku termangu dengan panggilan-nya. “Jangan keluar! Kamu disini saja.”singkat memang. Tapi itu cukup membuatku mengerti. Aku hanya mengangguk tanda menyetujui permintaan tuan mudaku ini.
“Temani aku sampai tertidur dalam lelap ini.”lanjutnya lagi.
“Baik tuan muda.”jawabku dengan polosnya.
“Tara..Panggil saja aku Tara, tidak usah memakai embel-embel tuan muda.”matanya menunjukkan suatu penderitaan yang sangat dalam.
“Baik tuan, eh Tara. Seperti yang saya bilang tadi, nama saya Dira.”kata-kataku semrawut.
“Aku tahu.”senyum-nya sinis.
“Oh, Emm..tuan, bagaimana kalau besok tuan saya ajak kesuatu tempat yang jauh dari dugaan tuan?”ucapku panjang lebar.
“TARA!! Namaku TARA bukan TUAN. MENGERTI KAMU!!”senggak-nya dengan nada yang sangat keras. Membuat jantungku hampir saja hilang dari peredaran.
“Baik Tara, baik. Aku akan memanggil kamu Tara, tapi dengan satu syarat.”pintaku padanya.
“Apa? Apa syaratnya?”jawaban yang diberikan-nya seakan menantang.
“Kamu harus ikut kemana aku mengajak besok? Bagaimana?”
“Oke, aku mau.”sangat cepat jawaban itu diberikan padaku.”Sekarang aku mau tidur, bantu aku ketempat tidur.”tanpa menjawab aku langsung mendorong kursi rodanya menuju ketempat tidur. Andai saja tuan muda ini tidak lumpuh, pasti dia adalah lelaki yang banyak digandrungi wanita. Wajah tampan, tubuh berbidang, bibir yang menggoda, dan sejumlah kekayaan serta kepintaran yang luar biasa.
“Tunggu aku sampai tertidur, baru kamu boleh keluar kamar.”aku hanya mengangguk tanda setuju. Sembari menunggunya tertidur, aku melihat—lihat isi kamar ini. Kamar yang luas, bahkan sangat luas. Aku melihat perpustakaan kecil yang ada disudut kamar. Mataku tertuju pada salah satu buku yang berjudul Time Management. Time management? Apakah mungkin dia seorang yang sangat disiplin?
            Dengan perlahan aku melangkah menuju keperpustakaan itu, aku penasaran apa sih isi dari buku ini. Aku membuka buku ini, yang ternyata isinya bukan bukan cetakan penerbit tetapi hanya buku dari tulisan tangan dengan kata lain ini adalah sebuah diary.
Aku mulai membaca dari awal  halaman.
            Januari, 12th 2010.
            My name is Tara. Tara Kim. Aku adalah anak dari Tony Kim dan Mariana Kim, anak pertama dari tiga bersaudara. Sekarang aku lagi menyelesaikan study yang hampir saja selesai. Aku mempunyai seorang pacar, dia sangat cantik. Tapi menurutku akan lebih cantik teman masa kecilku dulu, tapi sayang aku sudah lama tak bertemu dengan-nya. Ah, sudahlah.
            Mempunyai orang tua yang kaya raya, terkadang tidak membuatku merasa nyaman. Ada saja ujian yang harus kuhadapi, banyak sekali yang merasa iri. Aku rindu masa-masa kecilku bersamanya. Tapi, apakah dia mengingatku? Ah, that’s imposible. Sangat enggak mungkin.Oh, iya. Aku hampir lupa menceritakan tentang pacarku. Namanya Shirny, dia anak dari sahabat Mama yang di Jepang. Dia sekolah di ITT(Institute Technology Tokyo). Selain pintar dia juga very beautiful. Walau jarang berjumpa, tapi disaat aku libur semester dengan gembira aku mengunjunginya. Aku rasa, sekarang sudah larut malam. Saatnya aku merebahkan diri dan menidurkan mata untuk sejenak saja. Aku hanya berharap esok aku dapat bertemu dengan-nya.
Tara.
Aku membuka halaman selanjutnya, halaman pertama saja aku sudah dibuat penasaran. Apalagi dengan halaman selanjutnya.
            Januari, 14th 2009
Dua hari tidak menceritakan pengalaman, rasanya bagai tidur tertimpa bebatuan yang besar. Ya, menulis adalah salah satu hobby yang tak bisa hilang dari kebiasaanku. Hari ini tiada yang spesial, hanya satu yang spesial kedatangan Mama dan Papa dari Amerika. Urusan bisnis yang tak bisa ditunda-tunda lagi. Serta kedatangan adik laki-lakiku, Kim Hwa Lee. Aku biasa memanggilnya Lee. Singkat tapi mempunyai makna. Tetapi teman-temannya memanggil Kim Hwa. Dia lebih mencintai Korea dari pada Jepang. Sedangkan aku mencintai Indonesia, negara dimana aku dilahirkan. Dan aku bersyukur atas itu. Negara ini mempunyai sejuta pesona. Kitomataiitsuka, instrument yang aku dengarkan berulang-ulang saat menulis semua kegundahan dihatiku. Rasa rindu datang kembali, sangat rindu. Dimanakah kau duhai kekasihku?Lelah menyertaiku, rasanya aku ingin melayang kealam mimpi. Aku hanya berharap esok aku dapat bertemu dengan-nya.
Tara.
            February, 15th 2010
            Dalam waktu yang sangat lama ceritaku terpotong oleh waktu, sekarang keadaan tak sama lagi dengan satu bulan yang lalu. Kejadian itu hampir saja merenggut nyawaku. Ya, tepat pada usia ke-17 tahun pacarku yang sekarang sudah menjadi mantan pacarku Shirny. Susah payah aku mencari cara untuk membuat surprise kepadanya. Aku meminta bantuan kepada orang tuanya bahkan pembantunya. Perbuatan konyol, ya sangat konyol. Hanya untuk membuatnya aku bahagia saja bisa melupakan akal sehatku yang sekarang kurasakan akibatnya. Malam itu tanggal 15 Januari 2010.
            Dengan perasaan yang tak karuan aku menunggunya, menyiapkan segala rupa agar membuatnya bahagia. Dari cake aku memesan yang paling bagus seantero Jakarta. Tempat yang paling indah di Jakarta. Semua serba nomor satu di Jakarta. Tapi dengan semua ke-nomorsatuan itu, semuanya dibalas dengan satu kata “PUTUS”. Tentu saja hal itu sontak membuatku kaget. Tak ayal 15 menit aku menunggu, akhirnya gadis yang kupacari sejak 2 tahun lalu datang juga. Tapi dia tak sendiri, dia datang seorang laki-laki yang tak kukenal. Malam itu bagai guntur yang menyergap seluruh tubuhku. Dengan bodohnya aku mencium pipinya untuk terakhir kalinya. Tiada airmata. Hanya kesedihan saja yang sampai saat ini kurasakan. Entah setan apa yang merasuki tubuhku the accident pada malam itu membuatku lumpuh pada bagian kaki yang sampai saat ini kurasakan. Kalau saja aku tidak melakukan kebut-kebutan pasti aku masih bisa berjalan saat ini. Ah, bukan. Kalau saja aku tak memacarinya dua tahun lalu aku pasti tak akan seperti ini. Betapa bodohnya aku saat itu.
            Orang merasa paling bersalah adalah Mama, mama merasa telah mengantarkan anaknya sendiri pada kesengsaraan. Mama mengutuk dirinya sendiri untuk tidak menawarkan wanita lagi kepadaku. Dan Shirny, aku tak tahu bagaimana kabarnya. Sejak satu bulan ini dia tidak pernah melihatku, jangankan melihat menanyakan kabar saja sepertinya dia enggan. Aku berusaha untuk sembuh, tapi sepertinya semua itu sia-sia. Aku hanya pasrah akan tubuhku sekarang ini. Aku hanya berharap esok aku dapat bertemu dengan-nya.
Tara.
            February, 15th 2011
            Ah, malam yang indah. Maafkan aku diary yang baru teringat untuk mengisimu kembali dengan guratan hatiku yang semakin pedih. Dan kondisiku masih sama dengan satu tahun yang lalu. Lumpuh dan tak berdaya, aku tak mampu untuk berjalan. Pantatku rasanya sudah sangat gatal untuk melakukan aktivitas layaknya orang normal. Rasanya pasti sangat indah. Ya Tuhan, aku sudah berputus asa dengan dengan kehidupan ini. Lelah rasanya menunggu sesuatu yang tidak mungkin. Harapan itu selalu kosong. Letih untuk berkata-kata, letih untuk menyapa, letih untuk segalanya.
            Sore ini langit seakan ingin menunjukkan kharismanya, langit cerah dengan rona kemerahan mengingatkan aku dengan kejadian beberapa tahun silam. Ah, gadis itu masih sangat belia. Dia selalu membuat aku tertawa disaat aku sedih. Sudahlah, aku tak mau mengingatnya kembali. Tapi, aku hanya berharap esok aku dapat bertemu dengan-nya.
Tara.
Aku membalik-balik lagi, tapi kenapa halaman selanjutnya tidak ada aku temukan. Aku melihat bekas robekan dipinggir buku ini, ternyata dia merobek diary. Sayang sekali, padahal aku berharap bisa membaca lebih jauh tentang kehidupan-nya.
“Lelaki yang malang.”gumamku. Dan aku memperhatikan-nya yang sudah tertidur dengan lelapnya. Sungguh tampan. Sangat tampan. Kenapa aku ini? Aku hanya pembantu yang tiada apa-apanya dengan orang-orang kaya ini. Aku melangkah keluar kamar dengan perlahan. And GREAT!! Aku berhasil. Satu langkah lagi, menutup pintu.
“Mau kemana kamu?”Oh my God, kenapa dia bisa bangun? Aku kembali masuk dengan senyuman khasku.”Enggak usah senyum-senyum. Tetap aja kamu jelek.”bagai disambar petir tubuhku. Kontan saja senyumku hilang dengan begitu saja.
“Aku enggak pergi, cuma mau kedapur doang kok. Aku lapar belum makan.”hanya itu jawaban yang bisaaku utarakan dengan baik dan sesuai dengan situasi.
“Di mini refrigerator ada makanan, coba aja lihat.”menunjuk kearah kulkas mini yang ada dikamar tuan muda ini.
“Iya.”aku membuka tutup kulkas. Isinya sangat padat, dari makanan instant sampai buah-buahan. Aku mengambil mie instant yang hanya diseduh dengan air panas. Aku duduk dikursi berhadapan dengan tempat tidur tuan mudaku ini.
“Kamu kuliah dimana?”tanya-nya mendadak.
“Oh, di University of Jakarta. Semester 4. Kamu kok tahu kalau aku kuliah?”
“Dari cara bicaramu. Jadi kamu kerja disini untuk biaya kuliah? Orang tua kemana?”
“Iya, orang tuaku sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Sedangkan aku anak tunggal. Tidak punya saudara dekat. Jadi pembantu adalah satu-satunya jalan terakhir untuk hidup.”
“Oh.”jawaban yang sangat singkat.”Aku punya dua orang adik, yang satu namanya Kim Hwa Lee dan yang satu bernama Kim Hyun Naa. Mereka sekarang lagi kuliah di Korea. Ya, rencananya mereka akan tiba dua hari lagi. Bertepatan dengan ulang tahunku yang kedua puluh.”kali ini penjelasan-nya cukup panjang.
“Pasti adik-adik kamu mirip seperti kamu?” tanyaku dengan singkat.
“Hemm, tidak. Yang mirip perangainya dengan aku hanya Hyun Naa, sedangkan Lee jauh berbeda. Dia masih muda. Usianya masih 18 tahun. Jadi masih sangat manja. Kami terlahir memang sangat rapat. Mama dan Papaku jarang ada dirumah besar ini. Rumah ini hanya menjadi sarang pembantu seperti kalian.”kata-kata ini sungguh menyinggung perasaanku.
“Maksudmu apa?”
“Bukan bermaksud apa-apa, sudah hampir seratus orang yang pernah bekerja dirumah ini. Bahkan mungkin lebih. Tapi tak ada yang bertahan lebih dari dua tahun. Semuanya sama saja, pekerjaan yang tidak becus. Penuh dengan kelalaian.”
            Aku hanya terdiam dengan celotehan-nya yang sangat menyakitkan hati. Tapi aku berusaha untuk tetap biasa saja. Aku tak perduli lagi dengan ocehan-nya. Aku memakan mie yang sudah kuseduh dengan air panas.
“Aku mau mencobanya.”ujarnya secara tiba-tiba. Aku terdiam, mataku mengarah padanya.
“Kamu mau? Aku buatin satu lagi ya?”ide ini muncul disaat yang tepat.
“Tidak. Aku mau mencoba yang kamu makan itu.”
“Tapi Tara?”langsung dia merebut mie instant yang ada ditanganku dan langsung memakan-nya.
“Rasanya memang aneh, sangat aneh. Buatan Korea memang jauh lebih enak.”tuturnya dengan senyuman yang memuakkan.
            Sejenak aku terdiam memperhatikan cara makan-nya yang sangat cekatan menggunakan sumpit. Aiiih, kenapa aku bodoh sekali? Wajar saja dia cekatan, diakan keturunan KoJep alias Korea Jepang. Sungguh beruntung nasibnya, walau dalam keadaan sakit dia masih menikmati indah-nya kehidupan yang memberikan dia segalanya. Uang, orang tua yang masih utuh, adik kakak, ketampanan, everything but me? Nothing. Terkadang aku merasa tidak adil. Ya Tuhan, siapakah yang patut aku persalahkan? Aku? Mereka? ataukah Engkau? Hmm..aku sungguh merasa kesepian.
            Teng..teng..teng..
“Sudah jam 00.00 wib? Maaf tuan, saya harus kembali kekamar. Sangat tidak etis rasanya kalau saya dan tuan berduaan diruangan ini. Saya permisi tuan.”tanpa menunggu komentar panjang-nya aku langsung menuju kekamarku. Agar dia tak memanggilku kembali kepalaku enggan untuk menoleh walau hanya 15 derajatpun.”Benar-benar sudah jam 00.00 wib, lama sekali aku berada didalam kamar tersebut.”gumamku tanpa memperdulikan keadan disekeliling yang sangat gelap. Tanpa menunggu sesuatu yang tidak diinginkan aku langsung merebahkan tubuh ditempat tidur.
            Hari ini adalah hari yang benar-benar mencekam, betul-betul penuh dengan kesesakan dalam hati. Baru hari pertama bekerja saja sakitnya sudah seperti ini, bagaimana kalau selanjutnya. Tapi aku tidak boleh berputus asa, demi kehidupan dan demi biaya kuliah aku harus bertahan.
“Astaghfirullah, aku belum sholat. Maafkan aku ya Allah yang melupakan kewajibanku.”kata-kata ini mengalir begitu saja dari mulut.
            Dengan sigap aku menuju kekamar mandi dekat kamarku, dengan perhitungan tepat aku menemukan arah kiblat. Dalam sholat ini aku hanya meminta untuk dipertemukan dengan Robin. Walau hanya sekali, itu saja ya Tuhan. Tiba-tiba mutiara indah keluar dari mataku, pedih dan sedih yang kurasakan ini sangat menyakitkan.
            Lama aku terdiam dalam renungan yang panjang, belum pernah aku merasakan kekhusyukan dalam ibadah ini.
“Mama, Dira kangen. Pa, Dira kangen. Bener-bener kangen. Masa enggak satupun yang merindukan Dira. Sampai kapan Dira harus sendiri seperti ini? Dira sudah lelah, sakit rasanya kalau ada orang yang bertanya tentang keluarga Dira. Dira bingung mesti gimana.”air mata ini semakin jelas terasa. Usai mengeluarkan uneg-uneg dalam hati kepada sang khalik, aku bergegas menuju tempat tidur. Tapi, aku merasa seperti ada yang mengikutiku kedalam kamar. Tapi aku menepis bayangan ada dikepalaku. Aku mencari sumber suara yang ada, perlahan demi perlahan langkahku semakin dekat dengan sumber suara itu. Dan ternyata itu adalah bu Nunik? Bu Nunik? buat apa beliau malam-malam begini kelantai atas? Mencari apa? Seribu pertanyaan keluar dari kepalaku. Tapi aku tidak memperdulikan-nya, walau rasa penasaran itu selalu menyergap otakku.
            Aku melanjutkan langkahku menuju kamar, tubuh ini meronta-ronta untuk diletakkan walau hanya sekejap saja, masih ada waktu empat  jam lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar