Life? Hidup? Buat apa sih ada
kehidupan kalau hanya membuat orang lain menderita? Pertanyaan ini sering kali
muncul didalam benak dan pikiranku. Tak banyak yang kuketahui tentang kehidupan
ini. Tapi kenapa ya, orang-orang ber-Jas mewah diatas sana se-akan tak pernah
perduli terhadap rakyat biasa seperti aku yang sudah tak memiliki siapapun.
Kehidupan ini memang pahit dan sangat membuatku merasa sangat tertekan. Serasa
ada gelombang besar yang selalu menghampiriku. Di tengah kehidupan kota yang
carut-marut ini, aku duduk termangu memandangi betapa elok-nya aku jika
menggunakan Heels merek-merek mahal yang harganya bisa mempunyai bilangan enam
digit bahkan tujuh ataupun lebih.
            Aku
hanya bisa berandai-andai, di usia yang sudah cukup matang ini tak pernah aku
memakai suatu barang yang bermerek. Paling ayal aku hanya memakai sepatu usang
yang diberikan oleh Alm.Ayah dan Ibu-ku ketika aku berusia 15 tahun. Ya,
tepatnya tiga tahun lalu aku kehilangan orang paling berharga didalam hidupku.
Kecelakaan itu merenggut nyawa kedua orang tuaku bahkan merenggut masa depanku.
Kematian merenggut segala-nya, masa depan yang cerah sirna sudah. Sekarang aku
hanya berdiri didepan sebuah rumah mewah yang menurutku pembangunan-nya bisa
memakan waktu tahunan. Dari pintu gerbangnya aku bisa menafsirkan harganya bisa
mencapai milyar-an bahkan triliun-an Rupiah. Arsitektur Korea dan Jepang sangat
kental, terlihat dari ukiran dan pahatan yang menyentuh setiap sudut kosen
pagar.
            Aku
berpikir ulang dua kali, apa tidak salah aku diterima dirumah yang luas luarnya
saja bisa mencapai puluhan hektar ini sebagai pembantu yang tak berpengalaman.
Jangankan membersihkan rumah sebesar ini, terkadang membersihkan kamar saja
yang luasnya hanya 2x3 meter aku tak bisa. Sungguh sulit sekali, kalau bukan
karena biaya kuliah aku tak akan mau bekerja sebagai pembantu disini. Uang
warisan dari Papa dan Mama sudah habis untuk kebutuhan hidupku selama tiga
tahun ini. Aku terbangun dari sadarku ketika aku mendengar suara seseorang
ber-dehem.
“Ehem.” aku menoleh secepat kilat
mencari dan menemukan asal suara yang berat itu. Oh, ternyata adalah suara
penjaga rumah ini.
“Ada apa neng?” wajahnya tak
ber-ekspresi. Sangat dingin dan menegangkan. Tapi sepertinya dia adalah orang
yang sangat penyayang, terlihat dari kerutan diwajah-nya yang semakin menua.
“Em, saya Dira pak. Pembantu baru
yang akan bekerja disini.” aku menjawab dengan wajah yang mencoba untuk rileks.
“Oh, sana. Cepat! Kamu sudah
ditunggu sama bu Nunik.” dengan sigap dia membukakan pintu gerbang.
“Anu pak..ee..Sobirin.” aku
melihat namanya Sobirin pada bett nama yang dikenakannya,”kemana saya harus
berjalan. Saya kan.....” dia menunjukkan sebuah jalan pintas menuju rumah.
Tanpa berkata-kata lagi aku langsung menuju ke arah jalan yang ditunjukkan oleh
bapak Sobirin. Rumah yang sulit bathinku berkata tanpa sengaja.
            Ketika
aku mengetuk pintu, yang kurasa adalah pintu dapur. Terdengar suara seseorang
berteriak menyuruh membuka pintu yang kuketuk beberapa detik lalu. Pintu
terbuka, aku menoleh keatas. Mereka menyuruhku masuk dengan cepat.
“Ayo, kamu pasti Dira. Cepat!
Kamu udah terlambat 15 Menit. Dan menurutnya itu waktu yang sangat
penting.”tutur seorang gadis manis. Sepertinya masih sangat belia. Aku hanya
mengangguk tersenyum kepadanya. Ketika aku memasuki ruangan itu, mataku tertuju
pada westafel mahal yang sangat unik. Dapur-nya saja sungguh memukau, apalagi
bagian yang lebih dalam lagi. Selangkah, dua langkah, rasa kagumku terhadap
rumah ini semakin kuat. Dan tibalah aku melangkah-kan kaki untuk yang ketiga,
tanpa aku sadari tubuhku tersungkur sangat keras.
“Aduuuh.”aku meringis kesakitan.
Aku melihat sepasang kaki yang sudah tak muda lagi. Perlahan mataku menuju
bagian atas wanita ini. Tubuhku seketika membeku, tak bergeming, bahkan airpun
memahami makna ini.
“DIRAAAAAAA!!!!”teriakan-nya
dapat membuat semua perkakas seisi rumah hancur, itu kalau harga perkakas-nya
tak mencapai enam digit.
“Hhh..Iya bu. Ma..ma..aaf, saya
terlambat.”nafasku tersengal-sengal seakan baru berlari 100 meter bagai dikejar
anjing Herder. Kakiku melemas, tak sanggup untuk berdiri. Melihatnya saja
nyaliku sudah ciut untuk bekerja dirumah ini.
“Bagus! Terlambat 15 menit kamu.
Kamu tahu, 15 menit adalah waktu yang sangat berharga dirumah ini. Dalam waktu
15 menit kamu bisa membersihkan lima kamar dirumah ini. Kamu tahu apa hukuman
yang cocok untuk pembantu yang sudah melalaikan waktu?”tuturnya panjang lebar.
Omelan-nya hanya membuat telingaku sakit.
“Tidak tahu bu.”jawabku dengan
jujur. Wajar saja aku tak mengetahuinya, akukan baru mulai masuk hari ini
“Kamu harus memasak untuk makan
malam. Tuan dan Nyonya malam ini akan tiba dari Jepang. Mengerti kamu.”belum
sempat aku menjawab perintahnya, dia langsung pergi begitu saja.
“Akukan tidak bisa memasak.”tutur
dengan pelan.
“Tidak apa-apa, aku yakin kamu
pasti bisa. Oh, iya aku Lusy. Aku sudah bekerja disini sejak dua tahun lalu. Memasak
adalah kunci utama pembantu disini. Jadi kalau untuk itu aku tidak bisa
membantu. Semangat!”dia melongsor pergi, begitupun dengan pembantu yang
lainnya. “Oh, iya. Satu lagi. Kamarmu ada diatas, lantai dua paling belakang.
Berdekatan dengan taman belakang rumah. Tidak sulit untuk mencarinya. Naik saja
dari tangga belakang rumah. Langsung ketemu kok.” lanjut Lusy.
            Oh
Tuhan. Rumah seperti apa ini. Dengan lunglai aku menuju kekamarku, letih
pastinya tubuh ini. Tetapi waktu semakin sore, aku harus memasak. Tapi makanan
apa yang harus aku masak? Oh Tuhan, aku bingung sekali. Pintu kamar sudah tidak
terkunci, dengan begitu kamar sudah ada yang menempati. Ketika aku masuk, tiada
satu pun orang didalamnya. Kamar pembantu saja sudah bagus, apalagi kamar
majikan. Tanpa berpikir panjang aku langsung meletakkan semua barangku.
Termasuk buku-buku kuliah yang tak begitu banyak. Tapi sangat tebal. Saat aku
mau tertidur, aku langsung teringat akan hal makan malam.
“Oh! Shit! I hated this LIFE!!”ucapku setengah teriak. Dengan
tergesa-gesa aku turun menuju dapur. Tiada satupun orang disana. Dengan sigap
dan langkah seribu aku mencari Frying pan,
bahan-bahan memasak. Aku membuka kulkas, yang ada hanya Ayam, kangkung, telur,
dan mie instan. Selebihnya hanya bumbu dapur. Apa yang harus kumasak dengan
bahan-bahan seadanya. 
            Aku
termenung lebih kurang 10 menit. Aku ingat Mama, aku ingin menangis. Tapi air
mataku tak keluar.
“Ma, Dira kangen Mama sama Papa.
Dira bingung apa yang harus dimasak. Padahal mama dulu pinter masak. Masa bakat
mama enggak ada menurun sama Dira?”gerutuku dengan kesal.”Semur Ayam, cah kangkung,
Martabak mie. Sepertinya itu ide yang bagus. Dan itu juga termasuk makanan
kesukaanku.”ujarku secara tiba-tiba.
            Aku
bangkit dari duduk-ku mencari-cari bahan yang diperlukan. Sudah pukul 17.10
Wib. Sebenarnya aku khawatir, tapi aku harus tenang dan tidak boleh tampak
terburu-buru. Aku mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan. Setelah semua bahan
terkumpul, dengan perlahan aku meracik bumbu. Mengingat semua bumbu yang harus
tercampur dengan baik. Sudah pukul 18.00 Wib. Waktuku tinggal 45 menit lagi, untung
saja Semur Ayam dan Cah kangkung berhasil aku selesaikan dengan baik, terakhir
hanya tinggal Martabak Mie. Makanan ini sangat sensitif, jadi memasaknya harus
perlahan-lahan mengolahnya.
“Waktu kamu habis.”ketus nenek
tua yang tadi memarahiku tepat pada pukul 18.45 Wib. Aku menghela nafas
panjang. Rasanya bagai pertandingan memasak disalah satu stasiun televisi
swasta. “Lumayanlah, tidak terlalu buruk. Oke, sekarang letakkan dimeja. Tuan
dan Nyonya lima menit lagi tiba.Cepaaaat bergeraaak!!!!”lanjutnya lagi.
“Cih, dasar! Cerewet amat
sih.”gerutuku.
“Kamu ngomong apa
barusan?”tanya-nya dengan tatapan sinis.
“Oh, enggak apa-apa kok bu. Saya
cuma bilang ibu itu disiplin banget.”aku mengulas senyum terpaksa.
“Kalian berdua tunggu apalagi,
cepat sambut tuan rumah. Mau gaji kalian saya potong?”kegalakan-nya tiada
bandingan.
“Oke bu.”jawabku dan Lusy
berbarengan. Tanpa berpamitan, kami langsung menuju keruang makan. Aku
penasaran melihat bagaimana rupa majikan baruku ini. Tapi kok, enggak ada ya.
Mana Tuan dan Nyonya.
“Dira, kamu harus mengantarkan
makanan ini kekamar Tuan dan Nyonya. Mereka ingin kamu yang mengantarkannya.”
Tanpa menunggu perintah lagi, aku langsung menuju kekamar Tuan dan Nyonya
dibantu dengan dua orang pembantu lainnya, Ryan dan Minah. Perasaanku jadi
tidak enak. Semakin deg-degkan. Ada apa ini ya Tuhan? Langkah semakin dekat
dengan kamar majikanku. Dan sekarang aku tepat berada didepan kamar mewah ini.
“Excuse me Mam.” setelah mengetuk beberapa kali, ada juga sahutan
dari dalam. Pintu terbuka dengan sendirinya.
“Yes? What are you doing?”aku tak mampu berkata-kata. Memang benar
wajah Tuan besar ini seperti orang Korea. Bukan! Dia memang orang Korea.
“Emm, This is Dinner. I’m cooked for your. I hope you like that.” jawabku
dengan bahasa Inggris pula.
“What this name?”tanyanya lagi dengan rona wajah penuh rasa
penasaran.
“This is Cah Kangkung. Very delicious.”jawabku dengan penuh
keyakinan matang.
“Oke. Sit down please. We will tried that. Mariana, come here please.”panggilnya
kepada Nyonya besar. Dengan begitu, orang ini adalah Tuan rumah ini. Ya ampun,
betapa bodohnya aku tidak mengetahui semuanya. Tanpa menjawab mereka mencicipi
masakan yang ku buat dengan sepenuh hati. Semoga mereka menyukainya ya Tuhan.
Itu harapku untuk saat ini. Satu persatu mereka mencicipi dengan penuh rasa
keheranan. Kening mereka berkerut. Apa jangan-jangan? Masakanku tidak enak?
Atau bagaimana? Tolong aku ya Tuhan. Bantu aku, tegarkan aku ketika nanti di
pecat dengan kejam.
“Hmm..Not bad. Comeback to the kitchen, and cooked indonesian food for
this house people. Oke?”syukurlah. Itu adalah pernyataan yang sangat aku
tunggu-tunggu dari 15 menit memasuki kamar ini.
“Thank you Sir, Mam. Thank you..thank you..very much.”rasa
terimakasih kuucapkan berkali-kali dengan anggukan kepala sebagai rasa tanda
hormat. Hari ini adalah hari baik, tidak terlalu sial.
“Oh, Namae wa?[Nama anda?]”oh, shit! Kenapa sih tuan besar ini
menguji kepintaranku dalam berbahasa.
“Watashiwa Dira desu.[Nama saya Dira], come from Bogor. Now, i don’t have parents. They are die. I’m alone
right now. I don’t have anybody in the world. Just it Sir. I be must go to
kitchen. Thank you.”aku ingin segera keluar dari keluar dari ruangan ini ya
Tuhan. Hati ku sakit jika mengingat kejadian itu. Aku melangkah keluar secara
perlahan.
“You’re not alone Dira. You will be happy.I’m so proud of you. Are you
school?Where?”ungkapnya sembari bertanya apakah aku sekolah atau tidak.
“Yes, Sir. In Jakarta University. Business sience faculty.”jawabku
dengan pelan. ”Saya harus permisi kedapur Sir.”aku tak perduli apakah Tuan
besar ini bisa mengerti perkataanku dengan baik.
“Of Course.”dan dia mengerti. Super sekali. Dengan langkah perlahan
aku menuju dapur. Tiba-tiba bu Nunik datang dengan wajah yang khas. Penuh
dengan sorot mata yang tajam. Dia mengisyaratkan aku untuk tetap tinggal
disini. Menunggu hasil dari Tuan dan Nyonya, dibagian mana aku akan bekerja.
Sembari menunggu bu Nunik keluar dengan wajah tak menyenangkan-nya itu, aku
mengingat Robin. Teman masa kecilku, dia juga keturunan Korea dan Jepang. Dia
kerap kali menyambangi rumah kami yang kecil, padahal aku tahu bahwa dia anak
seorang milyuner. Tapi semua itu hanya sampai aku berusia 11 tahun. Ya, tepat
tujuh tahun yang lalu. Dia pergi kembali Jepang, melanjutkan study-nya kenegeri
sakura itu. Ah, aku merindukan-nya. Padahal dia berjanji akan mempertemukan aku
dengan kedua orang tuanya. Ketika lamunan itu berlari semakin jauh, aku
dikagetkan dengan tepukan tangan seseorang. Aku menoleh.
“Oh, Ryan. Ada apa? Kenapa
menepuk pundak-ku?”
“Kamu dipanggil, tuh.”menunjuk ke
arah nenek tua yang menyebalkan. Habislah aku, dia pasti marah besar dengan
kediamanku tadi. Aku berlari-lari kecil menuju ketempat bu Nunik berada.”Di
bagian mana saya harus bekerja bu.”tanyaku dengan berhati-hati.
“Hmhmm..Entah saya atau kamu yang
bersyukur, tapi ya sudahlah. Itu tidak penting. Kerja kamu cuma satu, mengurus
Tuan Tara. Kamarnya ada diatas, dia lumpuh. Makanya harus dirawat. Cepat lihat
dia.”dia pergi begitu saja, tapi tiba-tiba dia menoleh “Dia anak sulung
keluarga ini, terkena lumpuh sejak dua tahun lalu. Dokter saja tidak berhasil
menyembuhkan-nya. Rawat dia dengan baik, karena selama ini pembantu yang
menjaganya selalu kewalahan.”lanjutnya dan melanjutkan langkahnya.
“Kamu pasti dipercaya Dira.”aku
terkejut dengan ucapan Lusy, yang ternyata sedari tadi ada dibelakangku.
“Kenapa kamu berkata seperti itu
Lusy?”tanyaku dengan penuh keheranan.
“Karena, belum pernah pembantu
yang dipilih langsung oleh Tuan dan Nyonya secara langsung. Baru kamu.”ujarnya
dengan panjang lebar.
“Oh ya?”jawabku setengah tidak
percaya.”Ah, tidak mungkin Lusy.”
“Tapi itulah kenyataan-nya. Sudah
sana, kamu lihat tuan Tara orangnya lumayan cakep kok.”Lusy pun pergi dengan
penuh senyuman dan cengiran.
“Iya.”jawabku dengan lemas. Aku
menuju kedapur untuk meletakkan piring kotor yang ada ditanganku. Selepas itu
aku menuju kekamar tuan Tara, yang ternyata tak begitu jauh dari kamarku. Walau
rumah ini besar, tapi tak terlalu sulit untuk menemukan sebuah kamar. Karena
rumah ini memang dipenuhi dengan banyak kamar. Aku membaca tulisan yang ada
didepan kamar tersebut “Tara Kim”, jadi namanya Tara Kim. Nama yang sangat
fenomenal. Aku mengetuk pintu sekali tak ada sahutan, dua kali semakin parah.
Dan ketukan ketiga kalinya tidak ada juga, dengan terpaksa aku membuka pintu
kamarnya. Ketika aku membuka pintu kamar tersebut, terlihat nuansa kamar
berwarna biru terang dengan kiasan lampu yang sangat cantik. Mana tuan Tara?
Kenapa dia tidak ada? Aku menyisiri kamar, ternyata dia ada di balkon kamarnya.
“Disini rupanya tuan?”ucapku
dengan berhati-hati. Tapi tak menjawab, menoleh pun tidak. “Perkenalkan tuan,
nama saya Dira. Saya pembantu baru beberapa jam lalu. Dan saya ditugaskan untuk
merawat anda.”aku mengeluarkan senyuman yang paling indah. Dan aku rasa itu
baru pertama kali aku sodorkan kepada orang lain, kulihat wajahnya.
Subhanallah, tampan rupanya, indah bibirnya. Tapi sayang dia lumpuh, aku
melihat buku yang ada ditangan-nya. Management? Apa dia kuliah? Aku
memperhatikan disekelilingnya, banyak buku-buku usang yang harganya juga pasti
mahal. Semua buku disini menggunakan bahasa Inggris dan Jepang. Daripada aku
dijadikan kambing congek sama tuan muda ini, lebih baik aku keluar. Lagi pula
ini sudah pukul delapan malam. Rasanya tidak pantas kalau aku berduaan dengan
tuan muda didalam kamar ini.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar