Selasa, 23 Oktober 2012

Lifes Never Die bagian satu


Life? Hidup? Buat apa sih ada kehidupan kalau hanya membuat orang lain menderita? Pertanyaan ini sering kali muncul didalam benak dan pikiranku. Tak banyak yang kuketahui tentang kehidupan ini. Tapi kenapa ya, orang-orang ber-Jas mewah diatas sana se-akan tak pernah perduli terhadap rakyat biasa seperti aku yang sudah tak memiliki siapapun. Kehidupan ini memang pahit dan sangat membuatku merasa sangat tertekan. Serasa ada gelombang besar yang selalu menghampiriku. Di tengah kehidupan kota yang carut-marut ini, aku duduk termangu memandangi betapa elok-nya aku jika menggunakan Heels merek-merek mahal yang harganya bisa mempunyai bilangan enam digit bahkan tujuh ataupun lebih.
            Aku hanya bisa berandai-andai, di usia yang sudah cukup matang ini tak pernah aku memakai suatu barang yang bermerek. Paling ayal aku hanya memakai sepatu usang yang diberikan oleh Alm.Ayah dan Ibu-ku ketika aku berusia 15 tahun. Ya, tepatnya tiga tahun lalu aku kehilangan orang paling berharga didalam hidupku. Kecelakaan itu merenggut nyawa kedua orang tuaku bahkan merenggut masa depanku. Kematian merenggut segala-nya, masa depan yang cerah sirna sudah. Sekarang aku hanya berdiri didepan sebuah rumah mewah yang menurutku pembangunan-nya bisa memakan waktu tahunan. Dari pintu gerbangnya aku bisa menafsirkan harganya bisa mencapai milyar-an bahkan triliun-an Rupiah. Arsitektur Korea dan Jepang sangat kental, terlihat dari ukiran dan pahatan yang menyentuh setiap sudut kosen pagar.
            Aku berpikir ulang dua kali, apa tidak salah aku diterima dirumah yang luas luarnya saja bisa mencapai puluhan hektar ini sebagai pembantu yang tak berpengalaman. Jangankan membersihkan rumah sebesar ini, terkadang membersihkan kamar saja yang luasnya hanya 2x3 meter aku tak bisa. Sungguh sulit sekali, kalau bukan karena biaya kuliah aku tak akan mau bekerja sebagai pembantu disini. Uang warisan dari Papa dan Mama sudah habis untuk kebutuhan hidupku selama tiga tahun ini. Aku terbangun dari sadarku ketika aku mendengar suara seseorang ber-dehem.
“Ehem.” aku menoleh secepat kilat mencari dan menemukan asal suara yang berat itu. Oh, ternyata adalah suara penjaga rumah ini.
“Ada apa neng?” wajahnya tak ber-ekspresi. Sangat dingin dan menegangkan. Tapi sepertinya dia adalah orang yang sangat penyayang, terlihat dari kerutan diwajah-nya yang semakin menua.
“Em, saya Dira pak. Pembantu baru yang akan bekerja disini.” aku menjawab dengan wajah yang mencoba untuk rileks.
“Oh, sana. Cepat! Kamu sudah ditunggu sama bu Nunik.” dengan sigap dia membukakan pintu gerbang.
“Anu pak..ee..Sobirin.” aku melihat namanya Sobirin pada bett nama yang dikenakannya,”kemana saya harus berjalan. Saya kan.....” dia menunjukkan sebuah jalan pintas menuju rumah. Tanpa berkata-kata lagi aku langsung menuju ke arah jalan yang ditunjukkan oleh bapak Sobirin. Rumah yang sulit bathinku berkata tanpa sengaja.
            Ketika aku mengetuk pintu, yang kurasa adalah pintu dapur. Terdengar suara seseorang berteriak menyuruh membuka pintu yang kuketuk beberapa detik lalu. Pintu terbuka, aku menoleh keatas. Mereka menyuruhku masuk dengan cepat.
“Ayo, kamu pasti Dira. Cepat! Kamu udah terlambat 15 Menit. Dan menurutnya itu waktu yang sangat penting.”tutur seorang gadis manis. Sepertinya masih sangat belia. Aku hanya mengangguk tersenyum kepadanya. Ketika aku memasuki ruangan itu, mataku tertuju pada westafel mahal yang sangat unik. Dapur-nya saja sungguh memukau, apalagi bagian yang lebih dalam lagi. Selangkah, dua langkah, rasa kagumku terhadap rumah ini semakin kuat. Dan tibalah aku melangkah-kan kaki untuk yang ketiga, tanpa aku sadari tubuhku tersungkur sangat keras.
“Aduuuh.”aku meringis kesakitan. Aku melihat sepasang kaki yang sudah tak muda lagi. Perlahan mataku menuju bagian atas wanita ini. Tubuhku seketika membeku, tak bergeming, bahkan airpun memahami makna ini.
“DIRAAAAAAA!!!!”teriakan-nya dapat membuat semua perkakas seisi rumah hancur, itu kalau harga perkakas-nya tak mencapai enam digit.
“Hhh..Iya bu. Ma..ma..aaf, saya terlambat.”nafasku tersengal-sengal seakan baru berlari 100 meter bagai dikejar anjing Herder. Kakiku melemas, tak sanggup untuk berdiri. Melihatnya saja nyaliku sudah ciut untuk bekerja dirumah ini.
“Bagus! Terlambat 15 menit kamu. Kamu tahu, 15 menit adalah waktu yang sangat berharga dirumah ini. Dalam waktu 15 menit kamu bisa membersihkan lima kamar dirumah ini. Kamu tahu apa hukuman yang cocok untuk pembantu yang sudah melalaikan waktu?”tuturnya panjang lebar. Omelan-nya hanya membuat telingaku sakit.
“Tidak tahu bu.”jawabku dengan jujur. Wajar saja aku tak mengetahuinya, akukan baru mulai masuk hari ini
“Kamu harus memasak untuk makan malam. Tuan dan Nyonya malam ini akan tiba dari Jepang. Mengerti kamu.”belum sempat aku menjawab perintahnya, dia langsung pergi begitu saja.
“Akukan tidak bisa memasak.”tutur dengan pelan.
“Tidak apa-apa, aku yakin kamu pasti bisa. Oh, iya aku Lusy. Aku sudah bekerja disini sejak dua tahun lalu. Memasak adalah kunci utama pembantu disini. Jadi kalau untuk itu aku tidak bisa membantu. Semangat!”dia melongsor pergi, begitupun dengan pembantu yang lainnya. “Oh, iya. Satu lagi. Kamarmu ada diatas, lantai dua paling belakang. Berdekatan dengan taman belakang rumah. Tidak sulit untuk mencarinya. Naik saja dari tangga belakang rumah. Langsung ketemu kok.” lanjut Lusy.
            Oh Tuhan. Rumah seperti apa ini. Dengan lunglai aku menuju kekamarku, letih pastinya tubuh ini. Tetapi waktu semakin sore, aku harus memasak. Tapi makanan apa yang harus aku masak? Oh Tuhan, aku bingung sekali. Pintu kamar sudah tidak terkunci, dengan begitu kamar sudah ada yang menempati. Ketika aku masuk, tiada satu pun orang didalamnya. Kamar pembantu saja sudah bagus, apalagi kamar majikan. Tanpa berpikir panjang aku langsung meletakkan semua barangku. Termasuk buku-buku kuliah yang tak begitu banyak. Tapi sangat tebal. Saat aku mau tertidur, aku langsung teringat akan hal makan malam.
Oh! Shit! I hated this LIFE!!”ucapku setengah teriak. Dengan tergesa-gesa aku turun menuju dapur. Tiada satupun orang disana. Dengan sigap dan langkah seribu aku mencari Frying pan, bahan-bahan memasak. Aku membuka kulkas, yang ada hanya Ayam, kangkung, telur, dan mie instan. Selebihnya hanya bumbu dapur. Apa yang harus kumasak dengan bahan-bahan seadanya.
            Aku termenung lebih kurang 10 menit. Aku ingat Mama, aku ingin menangis. Tapi air mataku tak keluar.
“Ma, Dira kangen Mama sama Papa. Dira bingung apa yang harus dimasak. Padahal mama dulu pinter masak. Masa bakat mama enggak ada menurun sama Dira?”gerutuku dengan kesal.”Semur Ayam, cah kangkung, Martabak mie. Sepertinya itu ide yang bagus. Dan itu juga termasuk makanan kesukaanku.”ujarku secara tiba-tiba.
            Aku bangkit dari duduk-ku mencari-cari bahan yang diperlukan. Sudah pukul 17.10 Wib. Sebenarnya aku khawatir, tapi aku harus tenang dan tidak boleh tampak terburu-buru. Aku mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan. Setelah semua bahan terkumpul, dengan perlahan aku meracik bumbu. Mengingat semua bumbu yang harus tercampur dengan baik. Sudah pukul 18.00 Wib. Waktuku tinggal 45 menit lagi, untung saja Semur Ayam dan Cah kangkung berhasil aku selesaikan dengan baik, terakhir hanya tinggal Martabak Mie. Makanan ini sangat sensitif, jadi memasaknya harus perlahan-lahan mengolahnya.
“Waktu kamu habis.”ketus nenek tua yang tadi memarahiku tepat pada pukul 18.45 Wib. Aku menghela nafas panjang. Rasanya bagai pertandingan memasak disalah satu stasiun televisi swasta. “Lumayanlah, tidak terlalu buruk. Oke, sekarang letakkan dimeja. Tuan dan Nyonya lima menit lagi tiba.Cepaaaat bergeraaak!!!!”lanjutnya lagi.
“Cih, dasar! Cerewet amat sih.”gerutuku.
“Kamu ngomong apa barusan?”tanya-nya dengan tatapan sinis.
“Oh, enggak apa-apa kok bu. Saya cuma bilang ibu itu disiplin banget.”aku mengulas senyum terpaksa.
“Kalian berdua tunggu apalagi, cepat sambut tuan rumah. Mau gaji kalian saya potong?”kegalakan-nya tiada bandingan.
“Oke bu.”jawabku dan Lusy berbarengan. Tanpa berpamitan, kami langsung menuju keruang makan. Aku penasaran melihat bagaimana rupa majikan baruku ini. Tapi kok, enggak ada ya. Mana Tuan dan Nyonya.
“Dira, kamu harus mengantarkan makanan ini kekamar Tuan dan Nyonya. Mereka ingin kamu yang mengantarkannya.” Tanpa menunggu perintah lagi, aku langsung menuju kekamar Tuan dan Nyonya dibantu dengan dua orang pembantu lainnya, Ryan dan Minah. Perasaanku jadi tidak enak. Semakin deg-degkan. Ada apa ini ya Tuhan? Langkah semakin dekat dengan kamar majikanku. Dan sekarang aku tepat berada didepan kamar mewah ini.
Excuse me Mam.” setelah mengetuk beberapa kali, ada juga sahutan dari dalam. Pintu terbuka dengan sendirinya.
Yes? What are you doing?”aku tak mampu berkata-kata. Memang benar wajah Tuan besar ini seperti orang Korea. Bukan! Dia memang orang Korea.
“Emm, This is Dinner. I’m cooked for your. I hope you like that.” jawabku dengan bahasa Inggris pula.
What this name?”tanyanya lagi dengan rona wajah penuh rasa penasaran.
This is Cah Kangkung. Very delicious.”jawabku dengan penuh keyakinan matang.
Oke. Sit down please. We will tried that. Mariana, come here please.”panggilnya kepada Nyonya besar. Dengan begitu, orang ini adalah Tuan rumah ini. Ya ampun, betapa bodohnya aku tidak mengetahui semuanya. Tanpa menjawab mereka mencicipi masakan yang ku buat dengan sepenuh hati. Semoga mereka menyukainya ya Tuhan. Itu harapku untuk saat ini. Satu persatu mereka mencicipi dengan penuh rasa keheranan. Kening mereka berkerut. Apa jangan-jangan? Masakanku tidak enak? Atau bagaimana? Tolong aku ya Tuhan. Bantu aku, tegarkan aku ketika nanti di pecat dengan kejam.
Hmm..Not bad. Comeback to the kitchen, and cooked indonesian food for this house people. Oke?”syukurlah. Itu adalah pernyataan yang sangat aku tunggu-tunggu dari 15 menit memasuki kamar ini.
Thank you Sir, Mam. Thank you..thank you..very much.”rasa terimakasih kuucapkan berkali-kali dengan anggukan kepala sebagai rasa tanda hormat. Hari ini adalah hari baik, tidak terlalu sial.
Oh, Namae wa?[Nama anda?]”oh, shit! Kenapa sih tuan besar ini menguji kepintaranku dalam berbahasa.
Watashiwa Dira desu.[Nama saya Dira], come from Bogor. Now, i don’t have parents. They are die. I’m alone right now. I don’t have anybody in the world. Just it Sir. I be must go to kitchen. Thank you.”aku ingin segera keluar dari keluar dari ruangan ini ya Tuhan. Hati ku sakit jika mengingat kejadian itu. Aku melangkah keluar secara perlahan.
You’re not alone Dira. You will be happy.I’m so proud of you. Are you school?Where?”ungkapnya sembari bertanya apakah aku sekolah atau tidak.
Yes, Sir. In Jakarta University. Business sience faculty.”jawabku dengan pelan. ”Saya harus permisi kedapur Sir.”aku tak perduli apakah Tuan besar ini bisa mengerti perkataanku dengan baik.
Of Course.”dan dia mengerti. Super sekali. Dengan langkah perlahan aku menuju dapur. Tiba-tiba bu Nunik datang dengan wajah yang khas. Penuh dengan sorot mata yang tajam. Dia mengisyaratkan aku untuk tetap tinggal disini. Menunggu hasil dari Tuan dan Nyonya, dibagian mana aku akan bekerja. Sembari menunggu bu Nunik keluar dengan wajah tak menyenangkan-nya itu, aku mengingat Robin. Teman masa kecilku, dia juga keturunan Korea dan Jepang. Dia kerap kali menyambangi rumah kami yang kecil, padahal aku tahu bahwa dia anak seorang milyuner. Tapi semua itu hanya sampai aku berusia 11 tahun. Ya, tepat tujuh tahun yang lalu. Dia pergi kembali Jepang, melanjutkan study-nya kenegeri sakura itu. Ah, aku merindukan-nya. Padahal dia berjanji akan mempertemukan aku dengan kedua orang tuanya. Ketika lamunan itu berlari semakin jauh, aku dikagetkan dengan tepukan tangan seseorang. Aku menoleh.
“Oh, Ryan. Ada apa? Kenapa menepuk pundak-ku?”
“Kamu dipanggil, tuh.”menunjuk ke arah nenek tua yang menyebalkan. Habislah aku, dia pasti marah besar dengan kediamanku tadi. Aku berlari-lari kecil menuju ketempat bu Nunik berada.”Di bagian mana saya harus bekerja bu.”tanyaku dengan berhati-hati.
“Hmhmm..Entah saya atau kamu yang bersyukur, tapi ya sudahlah. Itu tidak penting. Kerja kamu cuma satu, mengurus Tuan Tara. Kamarnya ada diatas, dia lumpuh. Makanya harus dirawat. Cepat lihat dia.”dia pergi begitu saja, tapi tiba-tiba dia menoleh “Dia anak sulung keluarga ini, terkena lumpuh sejak dua tahun lalu. Dokter saja tidak berhasil menyembuhkan-nya. Rawat dia dengan baik, karena selama ini pembantu yang menjaganya selalu kewalahan.”lanjutnya dan melanjutkan langkahnya.
“Kamu pasti dipercaya Dira.”aku terkejut dengan ucapan Lusy, yang ternyata sedari tadi ada dibelakangku.
“Kenapa kamu berkata seperti itu Lusy?”tanyaku dengan penuh keheranan.
“Karena, belum pernah pembantu yang dipilih langsung oleh Tuan dan Nyonya secara langsung. Baru kamu.”ujarnya dengan panjang lebar.
“Oh ya?”jawabku setengah tidak percaya.”Ah, tidak mungkin Lusy.”
“Tapi itulah kenyataan-nya. Sudah sana, kamu lihat tuan Tara orangnya lumayan cakep kok.”Lusy pun pergi dengan penuh senyuman dan cengiran.
“Iya.”jawabku dengan lemas. Aku menuju kedapur untuk meletakkan piring kotor yang ada ditanganku. Selepas itu aku menuju kekamar tuan Tara, yang ternyata tak begitu jauh dari kamarku. Walau rumah ini besar, tapi tak terlalu sulit untuk menemukan sebuah kamar. Karena rumah ini memang dipenuhi dengan banyak kamar. Aku membaca tulisan yang ada didepan kamar tersebut “Tara Kim”, jadi namanya Tara Kim. Nama yang sangat fenomenal. Aku mengetuk pintu sekali tak ada sahutan, dua kali semakin parah. Dan ketukan ketiga kalinya tidak ada juga, dengan terpaksa aku membuka pintu kamarnya. Ketika aku membuka pintu kamar tersebut, terlihat nuansa kamar berwarna biru terang dengan kiasan lampu yang sangat cantik. Mana tuan Tara? Kenapa dia tidak ada? Aku menyisiri kamar, ternyata dia ada di balkon kamarnya.
“Disini rupanya tuan?”ucapku dengan berhati-hati. Tapi tak menjawab, menoleh pun tidak. “Perkenalkan tuan, nama saya Dira. Saya pembantu baru beberapa jam lalu. Dan saya ditugaskan untuk merawat anda.”aku mengeluarkan senyuman yang paling indah. Dan aku rasa itu baru pertama kali aku sodorkan kepada orang lain, kulihat wajahnya. Subhanallah, tampan rupanya, indah bibirnya. Tapi sayang dia lumpuh, aku melihat buku yang ada ditangan-nya. Management? Apa dia kuliah? Aku memperhatikan disekelilingnya, banyak buku-buku usang yang harganya juga pasti mahal. Semua buku disini menggunakan bahasa Inggris dan Jepang. Daripada aku dijadikan kambing congek sama tuan muda ini, lebih baik aku keluar. Lagi pula ini sudah pukul delapan malam. Rasanya tidak pantas kalau aku berduaan dengan tuan muda didalam kamar ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar