Selasa, 23 Oktober 2012

Lifes Never Die bagian Lima


“Ya, how? Positive or negative?”Lee yang sama antusias-nya denganku.
“Positif. Dugaan kamu benar Dira.”menunjukkan hasil yang sudah dia cetak. Dia menandatangani bahwa data itu adalah hasil pemeriksaan-nya. Dia hanya diam.
“Apa maksud data Romy? Beritahu aku.”paksa Lee. Romy hanya terdiam.
“Itu, mengandung bahan-bahan pelumpuh tubuh. Makanya tubuh Tara tidak bisa sembuh, untung saja kalian datang dengan cepat. Karena kalau obat ini semakin lama dikonsumsi, tubuhnya akan semakin lumpuh. Bahkan total.”ungkap Romy dengan perlahan. Lee terlihat lemas.”Untung saja Dira mengetahui gejala ini.”Romy mengatakan kepada Lee. Aku keluar ruangan dalam diam.
“Dira?”
“Ya, Dira perempuan baik Lee. Walau dia baru saja merawat Tara, tapi kasih sayang Dira memang selalu ditujukan untuk semua orang. Kamu bisa pulang, bawa hasil lab ini untuk menjadi bukti suatu saat nanti.”Lee melangkah-kan kakinya keluar ruangan itu.”Dan satu lagi Lee, Dira benar-benar sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Walau dia hanya pembantu, tapi dia adalah calon sarjana hebat. Sebentar lagi dia akan wisuda.”Lee mengucapkan terimakasih atas bantuan Romy.
               Lee melihatku duduk dalam tangisan, aku menatap kedua matanya yang teduh. Secara spontan dia memelukku, baru satu hari dia mengenalku dan begitupun aku. Aku hanya diam, ini untuk pertama kalinya aku dipeluk lagi. Setelah sekian lama tak ada pelukan lagi.
Thank you. Thank you very much Dira. Tara kakak laki-laki yang paling aku banggakan. Aku begitu terpuruk begitu dia kecelakaan dua tahun lalu. Aku membencinya, seharusnya aku merawat seperti kamu merawat dia. Kamu baru dua hari merawatnya sudah bisa menyanginya seperti saudara sendiri, sedangkan aku sudah belasan tahun. Tapi aku tidak mampu untuk merawatnya dengan kasih sayang.”perlahan dia melepaskan pelukan-nya.
“Sekarang kita harus pulang.”ajak-ku kepada Lee. Kami berjalan menuju motor, sampai tiba dirumah kami hanya diam. Tak ada satupun yang memulai pembicaraan. Ketika kami memasuki rumah aku hanya tertunduk lesu. Lee menarik tanganku menuju kekamar Tara. Aku terkejut pastinya.
               Sesaat kami sudah berada didalam kamar Tara. Aku mendengar suara tangisan yang tidak kuketahui suara siapa. Tapi yang pasti adalah suara pria dan wanita yang menangis secara bersamaan. Tuan dan Nyonya? Bathinku bertanya-tanya. Ada apa mereka menangis seperti ini. Seperti merasa  disambut, Hyun Naa menghampiriku dengan senyuman.
“Ma, ini gadis yang Hyun Naa ceritakan tadi.”Hyun Naa mengenalkan aku pada ibunya. Padahal aku sudah mengenal ibunya.
“Siang Nyonya.”aku menyapanya dengan senyuman. Dia hanya membalas senyumanku. Lee dengan tiba-tiba menyodorkan hasil Lab yang sedari tadi sudah ada ditangan-nya. Nyonya menerima hasil Lab itu.
What is?”tanya-nya dengan nada heran.
“Itu hasil Lab dari obat yang dikonsumsi oleh Tara selama ini Ma. Dan hasil Lab-nya menyatakan kalau obat yang dikonsumsinya selama ini mengandung bahan pelumpuh yang dapat melumpuhkan tubuh Tara secara total.”cerita Lee kepada keluarganya. Semua orang yang ada didalam ruangan itu terkejut. Termasuk salah satu dokter yang ada diruangan itu.
“Tidak mungkin, sangat tidak mungkin. Coba saya lihat.”dokter itu mengambil hasil Lab tersebut dari tangan Nyonya besar.”dr.Romy Suganda? Kenapa dia mau melakukan penelitian ini? Siapa yang mengenal dokter ini dari kalian berdua.?
“Saya dok. Saya teman lama dari dr.Romy, dia mau membantu setelah saya paksa dok.”aku menjelaskan tentang pertanyaan-nya itu. Aku sedikit was-was dengan jawaban ku itu, begitupun Lee. Dia terlihat khawatir.
“Kalau begitu, hasil Lab ini memang benar bu.”ungkap dokter tersebut.”Tapi saya tidak pernah memberikan yang salah.”dia terheran-heran dengan kondisi yang sekarang dihadapinya.
“Dira, kamu yang merawat Tara selama dua hari ini kan?”Nyonya bertanya spontan kepadaku. Semua mata tertuju kepadaku. Aku mengangguk menjawab pertanyaan dari Nyonya besar ini.
“Oke, sebaiknya kamu harus total merawatnya. Sampai Tara betul-betul sembuh. Bagaimana?”kali ini tuan besar yang bertanya kepadaku. Aku melihat Tara, tatapan mata yang penuh harapan.
“Ya Sir. Tapi...”aku memenggal jawabanku.
“Tapi apa?”tanya Tara.
“Kalau hari minggu, saya tidak bisa merawat tuan Tara untuk seharian. Paling tidak sampai tengah hari saja.”
“Kenapa?”nyonya Mariana menatap mataku.
“Saya harus kepemakaman orang tua saya Nyonya. Itu sudah menjadi tradisi saya sejak kedua orang tua saya meninggal.”aku melontarkan jawaban yang jujur ini kepada pemilik rumah besar ini.
“Itu alasan-nya, kalau begitu saya ikut bersama kamu kepemakaman.”usul Lee mencampuri pembicaraan kami.
“Aku juga.”Hyun Naa menyahut. Aku tersenyum melihat dua orang adik kakak ini.
Of course. Tentu saja boleh. Kenapa tidak? Itu hak kamu.”nyonya dan tuan menyetujui permintaanku.
“Aku tidak setuju.”cetus Tara, aku heran. Kenapa dia tak menyetujuinya.”Aku harus ikut baru aku setuju.”semua orang tertawa dengan riang-nya. Ya Allah. Hari kedua ini benar-benar membuatku bahagia. Seperti memiliki keluarga kembali. Terimakasih ya Allah. Pembicaraan kali ini sudah usai, aku permisi untuk menunaikan ibadah sholat dzuhur.
               Langkahku terhenti ketika aku usai mengambil air wudhu. Didepan kamarku sudah ada Hyun Naa, menyodorkan mukenah kepadaku. Dengan sigap aku mengambil dari tangan-nya.
“Aku juga mau sholat. Ini.”dia mengeluarkan mukenah dari tangan yang disembunyikan-nya.”Tapi...”
“Tapi aku tidak bisa mengambil air wudhu, dan aku juga tidak tau lafadhznya.”dia mengangguk. Dugaan yang jitu.”Ayo.”aku mengajak-nya kekamar mandi. Dia mengikutiku dengan girang-nya. Walau aku hanya pembokat, tapi aku adalah orang yang paling beruntung.
Follow me.”aku menyuruhnya untuk mengikuti gerakan berwudhu. AND GREAT dia berhasil.
               Dzuhur kali itu untuk pertama kalinya aku menjadi imam dalam sholat, dan aku berbahagia untuk itu. Usai menunaikan ibadah sholat dzuhur aku menuntun-nya mengaji. Rasanya ingin menangis, kalau saja Mama dan Papa tidak pergi apa aku harus bersusah payah bekerja membanting tulang demi mendapatkan uang seperti ini.
               Kehidupan tidak selamanya sempurna, aku memiliki kemampuan lebih dalam hal ibadah. Tapi, aku tak memiliki siapapun. Sedangkan Hyun Naa meiliki segalanya, tetapi dalam hal ibadah hasilnya nihil. Kehidupan masa lalulah yang membuatku semakin tegar, membuatku semakin kuat dengan semuanya. Waktu terus berjalan, kehidupan semakin jauh tertinggal. Aku ingat pesan Mama waktu itu,”Jadilah orang yang berguna buat semua orang.”
               Kalau saja Hyun Naa tidak mengeluarkan suara, pasti aku akan meneruskan khayalanku kemasa lalu. Kenangan manis yang indah.
“Hei, besok. Ajarin aku lagi ya.”pinta Hyun Naa dengan menebarkan pesona wajah yang indah.
“Dengan senang hati mbak.”ujarku tersenyum.
               Hari kian larut, aku memasuki kamar tuan Tara. Aku teringat akan potongan diary kemarin. Berpura-pura aku membersihkan rumah, aku melihat Tara yang tertidur dengan. Aku memakaikan selimut merah marun kesayangan-nya. Aku memeriksa keadaan kakinya, kupijat-pijat secara perlahan. Kaki kurus ini, pasti akan sembuh. Aku yakin akan hal itu. Dia penopang keluarga ini, dia adalah sosok yang bertanggung jawab akan keluarganya.
               Kakiku seperti merasakan sesuatu, kertas. Aku mengambilnya. Ini adalah potongan kertas diary yang kutemui kemarin. Dengan perlahan aku membukanya, karena aku tahu Tara sangat sensitif dengan bunyi-bunyian.
            February, 15th 2012
            Hari ini adalah hari paling bahagia, aku bisa merasakan bahwa teman masa kecil itu ada dirumah besar ini. Wajahnya yang semakin cantik, semakin dewasa. Tapi aku masih meragukan semua itu, sampai dia benar-benar terbukti adalah teman masa kecilku.
            Teman kecil yang dahulu sangat ingin kukenalkan kepada Mama dan Papa, tapi sayang semua tidak sesuai dengan rencana. Apakah gadis itu Dira? Apakah gadis itu NADIRA SRIKANDI? Teman masa kecil yang selalu memanggilku dengan nama unik. Ah, tidak mungkin. Kenapa dia tidak mengenalku sama sekali? Padahal aku begitu mengenal garis wajahnya yang penuh dengan senyuman. Senyuman yang betul-betul menyejukkan hatiku. Dari dulu dia tidak berubah, sama sekali tidak berubah. Jadi namanya Dira? Padahal aku lebih suka memanggilnya Kandi. Haha, nama yang aneh. Dia sangat cantik, jauh lebih cantik dari Shirny sigadis tidak tahu diri itu.
            Tapi kenapa terkadang wajah Dira memancarkan kesedihan? Ada apa dengan-nya? Tapi kenapa dia mau bekerja layaknya seorang pembantu? Diakan mempunyai orrnag tua. Apa jangan-jangan? Ah, sudahlah. Aku tak boleh menyangka itu adalah Dira teman masa kecilku. Aku pasti salah orang. Tapi aku benar-benar merindukan-nya. Gadis kecilku yang paling cantik. Gadis kecilku yang selalu memberi kebahagiaankepada orang lain. Dimana kamu berada? Aku merindukanmu. Sangat. Aku berharap bahwa Dira itu adalah kamu.
Robin.
            Bathinku menjerit, kertas itu terjatuh begitu saja dari tanganku. Kepalaku pusing sesaat, dunia seakan semakin gelap. Semakin gelap dan gelap. Aku tersentak dari tidur, yang secara tiba-tiba aku berada ditempat tidur TARA! Tempat tidur majikanku sendiri. Aku melihat Tara dengan serius. Apa benar tulisan tangan itu adalah milik Tara? apa benar Robin itu Tara?
“Kamu kaget membaca diary itu atau kamu memang sakit?”tanya-nya mendadak kearahku.
“Keduanya. Sakit dan kaget.”jawab singkat.
“Apa kamu punya pertanyaan terhadapku?”
“Siapa yang mengangkat aku ketempat tidur ini?”pertanyaan bodoh. Lain hal yang kupikirkan lain pula yang keluar dari mulut ku.Shit!
“Lee, dia yang mengangkatmu keatas sini. “diam hanya menyelimutiku ketika Tara mengatakan bahwa Lee-lah yang mengangkatku ketempat tidur ini.”Apa tidak ada pertanyaan lain-nya?”
“Ehh, enggak ada.”kataku berbohong.
“Bohong. Aku kenal kalau kamu lagi berbohong Kandi.”panggilan itu membuatku semakin tidak percaya akan kenyataan yang baru kubaca tadi.
“Kamu? Benar-benar Robin? Nama kamukan Robin bukan Tara.”kesalku menggebu-gebu dengan rasa ketidakpercayaan.
“Ya, Robintara Kim. Itu namaku. Aku kira kamu diluar dipanggil Kandi. Ternyata Dira.”ungkapnya. Tanpa memperdulikan sekeliling aku memeluknya sambil menangis sejadi-jadinya.
“Ya Allah, terimakasih ya Allah. Engkau sudah mempertemukan aku dengan Robin. Orang yang selama ini kucari-cari.”aku tertunduk lesu mengungkapkan rona bahagia yang ada didalam wajahku.
“Rindu sekali aku dengan pelukanmu ini dik. Sangat rindu.”Tara yang tak kusangka-sangka menangis dihadapanku untuk yang pertama kalinya.”Maafkan aku yang pergi tanpa kabar delapan tahun yang lalu. Maafkan aku tidak menepati janjiku dahulu. Maafkan aku Kandi. Maafkan aku. Aku sudah terkena akibatnya. Sekarang aku sudah tidak bisa berjalan lagi seperti dulu. Tidak bisa mengajakmu pergi keperkebunan belakang rumah, tidak bisa mengajakmu lari pagi. Sekali lagi maafkan aku Kandi.”sesalnya dengan panjang lebar. Sambil memeluk tubuhku.
“Sudahlah, aku sudah memaafkanmu. Sebentar lagi kita akan jogging mengitari perkebunan belakang. Ternyata firasatku benar Tara.”aku tersipu malu. Aku merasakan ada yang mendengar pembicaraan kami. Aku menoleh, Hyun Naa.
“Jadi, Dira ini adalah sahabat kakak waktu kecil yang membuat kakak nangis sejadi-jadinya sewaktu diajak sekolah di Korea. Wah, super sekali. Enggak nyangka aja bakalan ketemu disini.”tutur Hyun Naa lumayan panjang kali lebar-lah.
“Ah, kamu. Ngebuat aku semakin tersanjung.”balasku dengan tersipu malu.
Ya, that’s right. Bahkan, dia sampai tidak mau makan berhari-hari karena enggak ingin pisah sama kamu Ra.”aku melihat sorot mata Tara yang begitu tajam, seakan menolak pernyataan dari Hyun Naa.
You! Why you open my secret. I’m so shine.”ucap Tara sembari menutup wajahnya yang sangat oriental. Kami tertawa dengan riang.
“Oh, ya. Bagaimana dengan kakimu? Apa masih mati rasa?”tanyaku beruntutan bagai train yang sedang berjalan.
“Sedikit, tapi bagian sebelah kiri masih mati rasa.”bergegas aku menuju kedapur. Membuat ramuan yang sama. Dapur sepi, bu Nunik dan yang lain-nya kemana ya?
DUAAAARRRRRR!!! Aku dikejutkan dari belakang, Lee.
“Huhh, aku kira siapa. Sport jantung akunya. Dasar! Cih!”tersontak aku langsung memaki Lee. Dia nyengir yang membuat aku semakin dongkol dan ingin memukul kepalanya menggunakan Frying Pan.
Don’t be angry honey.”WHAAAATTT!!! Dia bilang aku Honey. Mulutku menganga bagaikan kantung semar.
Hey, what are you talking? Honey? Are you crazy?
Sorry..sorry..aku enggak ada maksud membuat kamu kaget kok. Aku cuma mau minta tolong sama kamu. Boleh enggak?”pinta-nya dengan wajah yang membuat aku iba.
“Apaan? Aku lagi sibuk. Lagi pula sekarang sudah jam11.00 malam. Enggak enak kalau dilihat pembantu yang lain.”
“Sibuk apaan? Buat ramuan sama Tara? Sepertinya kamu suka sama Tara.”liriknya dengan asal tebak.
“Sok tau kamu. Sebenarnya sih iya. Sudah dari 8 tahun yang lalu. Aduuhhh.”dengan refleks aku menutup mulut. Ya ampun, kenapa aku jadi cerita sama nih bocah sih aku membathin dalam hati.
“8 tahun yang lalu? Maksudnya apaan nih?”aku menundukkan wajah tanpa memandang keatas. Rada seram kalo Lee lagi marah. Sport jantung jadinya.
“Emm, begini. Aku akan menceritakannya sama kamu. Oke. Tapi aku harus mengobati Tara dulu ya. Oke.” tanpa meminta jawaban darinya aku langsung menuju kekamar Tara, yang lumayan jauh dari dapur. Aku menoleh kebelakang, melihat Lee sedang memandangku. Aku langsung mengalihkan pandanganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar