Selasa, 23 Oktober 2012

Lifes Never Die bagian Enam


Sesampainya aku dikamar Tara, mereka menyambutku dengan senyuman. Tanpa diminta langsung oleh Tara, aku langsung membalurkan jahe dan air panas yang kubuat tadi. Dia meringis kepedihan, aku hanya tersenyum melihatnya kesakitan.
“Kamu tetap sama ya seperti kecil dulu. Manja. Oke, udah siap. Sekarang kamu tidur ya Tara. Aku kedapur dulu ya. Masih ada yang butuh bantuanku.”dia mengangguk tulus. Ada yang hilang, yah Hyun Naa sudah tidak ada dikamar itu lagi. Dia pasti sudah balik kekamarnya. Aku langsung menuju kedapur. Aku melihat tidak hanya Lee tapi juga bersama Hyun Naa dan Tante Mariana. Whats up!
            Sepertinya mereka sedang menungguku.
“Oke, ada apa ini? Kenapa kalian menatapku seperti itu?”tanyaku dengan penasaran karena melihat gelagat mereka yang aneh.
“Saya sudah tau semuanya Dira.”aku tersentak melihat raut wajah Nyonya besarku ini.
“Ma..ma..maksud nyonya apa?”
“Enggak usah manggil nyonya deh. Oke. Just call me Mariana aunt, how?
What? Maksudnya apaan nyonya?”aku melirik Lee. Dia hanya diam terpaku begitupun dengan Hyun Naa.
“Nadira Srikandi. Tante siapa kamu? Kamu teman masa kecil Robin? Itu nama panggilan yang biasa kamu gunakan terhadap Tara. Kenapa kamu enggak cerita sebelumnya sama saya?”
“Oh, soal itu saya juga benar-benar enggak tau tante. Saya juga kurang yakin sebelumnya kalau Tara itu Robin tante.” aku hanya menjawab seadanya saja.
“Oke. Tante sudah dengar langsung dari mulut kamu. Lanjut kerencana kedua.”aku semakin penasaran dengan rencana mereka.
“Rencana kedua? Maksudnya?”aku semakin bingung dengan pembicaraan mereka.
“Kamu lupa besok tanggal berapa?”tanya Hyun Naa spontan.
“Tanggal 17 Februari-kan?”mereka bertiga melongos.”Oh My God!!! Aku baru ingat kalau besok itu ulang tahun-nya Tara yang ke-20. Aku belum ada apa-apa buat kadonya besok.”
“Tapi kami semua sudah ada.”jawab Lee dengan cepatnya.
“Apa?”tanyaku lagi.
“Kamu.”mereka bertiga berbarengan menjawab “KAMU” yang ditujukan ke-aku.
“Aku.”sembari menunjuk kearah wajahku,”Maksudnya?”
Well, i know you love my old brother. And, he always waited you. He cry, happy, if his remembered you. And he loves you.”aku menelan ludah mendengar penjelasan dari Lee. Tante Mariana dan Hyun Naa menjadi pendengar setia di sesi ini.
“Oke, bagaimana plann-nya?”
“Sini aku bisikin.”kali ini Hyun Naa yang memberikan penjelasan kepadaku. Tak sampai satu menit dia menjelaskan. Aku mengerti dengan apa yang diucapkan-nya.
“Tapi masalahnya sekarang, Mama lupa memesan cake buat acara besok.”Tante Mariana terlihat khawatir kalau rencana ini akan gagal jika tidak ada cake-nya.
“Oh, itu masalahnya. Kalau itu serahin sama Dira saja tante. dira tahu cake kesukaan-nya Tara. Cake dari resep Almarhum Mama Dira.”sepertinya mereka mengangguk pertanda setuju dengan ide yang aku berikan.
Oke. Let’s go and Let’s do it!”Tante Mariana memberikan komando.
“Oh iya. Pembantu yang lain mana ya Tante?”aku bertanya seakan aku bukan anggota baru dikeluarga ini.
“Itu, mereka saya liburkan untuk tiga hari kedepan. Ya, tujuan-nya biar kamu merasakan kedamaian seperti dahulu lagi Dira.”aku menghapus air mataku mendengar Tante Mariana mengatakan hal seperti itu.
“Oke, Mama, Dira. Kita harus mengerjakan cake-nya sebelum Tara terbangun. Oke.”Hyun Naa mengejutkan aku dan Tante Mariana. Kami berdua tersenyum. Sungguh klasik memang saat-saat seperti ini.
            Aku mengambil bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat cake ini. Hyun Naa hanya mengikutiku dari belakang, melihat bagaimana caraku membuat kue. Dia memperhatikan dengan seksama. Sedangkan Lee dan Tante Mariana berbincang dengan senang-nya.
Mereka melihat aku dan Hyun Naa kerepotan dengan cake ini.
“Kamu hebat ya.”ungkap Hyun Naa membuka pembicaraan diantara kami.
“Ya hebat, kamu baik, rajin ibadah, pinter, mandiri, jago masak lagi. Aku salut sama kamu.”
“Hyun Naa juga hebat.”
“Oh ya. Really? Hebat dibagian mananya nih?”
“Kamu cantik, baik, ramah, pinter, pokoknya hampir sempurna deh.”aku mengacungkan jempol kepada Hyun Naa.
“Makasih ya. Sebenarnya aku tuh sangat pemalu, apalagi sama orang baru. Tapi kenapa sama kamu berbeda ya?”dia tertawa.”Tau enggak, ini pertama kalinya Mama menginjakkan kaki didapur hanya untuk menunggui sebuah kue. Mama adalah orang yang paling enggak bisa diam, dan baru kali ini Mama dirumah satu harian tanpa Papa. Biasanya disitu ada Papa pasti ada Mama. Semua karena kak Tara lagi sakit, sejak itu Mama selalu menyalahkan diri sendiri. Tapi aku tetap menyayangi Mama.”
“Itu sangat cukup membuatku terharu. Aku tahu keluarga ini sangat hebat, tapi kenapa dirumah ini mesti ada banyak pembantu yang bolak-balik keluar masuk?”tanyaku spontan. Kontan saja pertanyaanku ini sangat mengena ke ulu hati tante Mariana.
“Kalau soal itu tante baru memikirkan-nya saat kamu bertanya tadi. Kenapa ya? Semua yang mengatur adalah kepala pembantu yaitu bu Nunik. Tante juga heran. Kenapa tidak kepikiran oleh tante ya. Oh My God! What happened.”tante Mariana menyambung perbincanganku dengan Hyun Naa.
“Saya hanya merasa ada sesuatu yang janggal dengan bu Nunik. Sepertinya dia sangat membenci saya tante. Padahalkan saya tidak mengenalnya.”
“Ya sudahlah, tidak usah dipikirkan. Lanjutkan saja membuat cake-nya, takutnya nanti tidak kelar lagi gara-gara keasyikan ngobrol.”
“Oke boss!!”ujarku serentak dengan Hyun Naa. Tante Mariana dan Lee hanya tertawa.
            Selanjutnya kami hanya terdiam dalam heningnya malam yang ditemani suara jangkrik berkeliaran. Hampir setengah satu, aku melihat Hyun Naa sudah mulai mengantuk. Aku mengagetkan-nya, sontak saja dia terbangun.
“Hei, are you sleepy?”dia menggeleng pertanda tidak setuju.”Can you help me?”tanyaku sekali lagi padanya.
What?”dia mendongak polos kehadapanku.
“Bisa enggak kamu menghubungi teman-teman karib Tara? Kamukan tahu aku tidak begitu mengetahui tentang Tara selama delapan tahun ini. So, gimana?”pintaku pada Hyun Naa. Semula aku meragukan persetujuan-nya, tapi ternyata dugaanku salah. Dia mengangguk ceria padaku.
“Oke. Sip.!”dia mengangkat jempolnya. Sedangkan Hyun Naa sibuk dengan urusan-nya, aku sibuk memoles kue dengan bermacam riasan yang sangat disukai Tara. Melihat bentuk kue ini aku mengingat almarhumah.Mama. Dulu sewaktu Mama masih ada, Mama suka sekali membuat kue untukku dan Tara. Tapi semua sudah tinggal masa lalu yang menjadi kenangan. Sedangkan aku harus menanti masa depan yang akan menjumpaiku.
            Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 Wib, semua sudah aku kerjakan dengan baik. Tante Mariana dan Lee sudah sedari tadi sudah tertidur di sofa ruang tamu utama. Sedangkan Hyun Naa tertidur dikursi dapur. Sungguh cantik gadis keturunan Korea Jepang ini. Membuat aku iri. Tapi aku bersyukur dengan apa yang kudapatkan sekarang ini. Hari ini adalah hari keempat aku bekerja dirumah ini, tepat hari ini pula Tara bertambah umur.
“Happy Birthday Tara.”kuucapkan dengan sangat sungguh hati. Aku harus bergegas membersihkan semua ini. Agar surprise besok bisa lebih sempurna.
            Aku hanya dapat melihat dari luar gerbang, hari ini sudah tanggal 17 Februari. Dan itu berarti hari ini adalah ulang tahun Tara yang ke-20. Aku sudah siap dengan semua persiapan, dan aku merasa sangat cantik menggunakan dress yang diberi oleh Hyun Naa. Aku mendengar kehebohan didalam ruangan. Tetapi tiba-tiba semua hening.
“Mana Dira?”aku mendengar Tara menanyakan aku. Ya Tuhan, pertanda apa ini? Semua semakin diam.
“Dira, udah pergi tadi shubuh sayang.”aku hanya tersenyum mendengar tante Mariana mengucapkan kata-kata itu.
“Dan mama ngebiarin dia pergi begitu saja haa? Ma, this is my birthday. I want you must be find her. Because i love her. Go!!”ya Tuhan. Dia juga punya perasaan yang sama denganku? Ini yang kutunggu-tunggu dari dulu Robin.
“Oke. Aku harus menjalankan rencana seperti yang sudah kupersiapkan.”bergegas aku menuju dapur dan menaiki tangga dengan perlahan agar Tara tidak mengetahui keberadaanku. Handphone-ku bergetar, ada sms dari Hyun Naa.
Are u Ready?’
From: Hyun Naa
Ready’
Aku mereply sms Hyun Naa. Layar putih terbentang, LCD yang sudah dipersiapkan pun menyala. Secara perlahan muncul tulisan:
I WAS HERE, ROBIN
17 February 2012, ulang tahun ke-20
Hai, kamu pasti sudah mengetahui siapa aku-kan? Hm, ya pasti. Aku tahu kamu selalu mengingat aku. Tapi sayang, kejadian delapan tahun yang lalu sungguh membuat aku tak berdaya.
Seorang kakak yang selalu mengayomiku pergi tanpa pamit kepadaku. Aku sungguh kecewa dengan tindakan bodohmu itu. Kamu selalu berjanji untuk mengenalkan aku kepada orang tua dan saudaramu, tapi kamu selalu mengingkarinya.
Sudahlah, itu tidak penting. Yang penting sekarang usiamu sudah 20 tahun. Dan selamat atas usiamu yang sekarang ini.
Happy birthday too you. I Love You.
Halaman berlanjut menuju kalimat berikutnya. Aku memperhatikan Tara menyimak dengan seksama.

17 February 2004, ulang tahun ke-8
Masih ingat enggak, ini adalah ulang tahun pertamamu denganku. Sedih rasanya bila mengingat itu. Almarhumah Mamaku selalu mempersembahkan cake yang paling kamu suka. Dan aku juga mempersembahkan-nya di hari jadimu yang kedua puluh ini. Walau tidak seenak mamaku tapi tidak akan jauh beda rasanya. Aku sangat ingin mengulang saat-saat seperti ini. Sangat ingin. Tapi itu akan sangat mustahil. Yang aku inginkan saat ini adalah kesembuhanmu semata. Itu saja. Agar kita bisa bermain dan bercanda seperti dahulu lagi.
Selamat ulang tahun Robintara Kim yang baru kuketahui ternyata itu adalah nama lengkapmu. Selamat ulang tahun.
I was here, aku selalu ada disampingmu.

SESUATU YANG INDAH ITU KAMU!
            Aku mendengar suara tangisan dan isakan, dan aku yakin itu adalah suara dari Tara sendiri. Slide di tutup dengan beberapa gambar Tara ketika dia sedang tidur. Kontan saja hal itu membuat teman-teman Tara yang lain.
So, where is she mom?”tanya Tara secara langsung kepada Mamanya. Tante Mariana melihat suaminya menggelengkan kepala.
She’s not coming dear. She’s gone. I’m sorry.”sesal Tante Mariana. Kesedihan Tara semakin terpancar dari kedua matanya, dan ini sangat tidak bisa membuatku untuk bertahan. Aku melihat Hyun Naa, dan dia mengangguk-kan kepala ketika aku meminta untuk segera turun. Perlahan aku turun, perlahan dan secara perlahan.
Happy birthday, happy birthday, happy birthday dear Tara.”dia memutar tubuhnya 180°, aku terdiam terpaku tanpa bisa melangkahkan kaki.
“Kamu disitu saja, aku akan kesana. Kamu tunggu saja Kandi. Aku akan menjemputmu.”semua orang sangat terkejut melihat Tara menurunkan kakinya dari kursi roda. Aku menelan ludah, ini mukjizat sangat mukjizat. Aku melihat Romy yang kebetulan ada diantara para tamu undangan. Dia mengangkat bahu, dan tanpa sadar Tara benar-benar sudah ada didepan mataku. Aku menangis, dan aku tak mampu berkata apa-apa.
“Aku sembuh Dira. Aku sembuh!!”Tara sangat terkejut dengan keberhasilan-nya mengaktifkan kembali saraf-saraf yang kaku. Sungguh ini adalah kuasa Tuhan yang luar biasa.

Lifes Never Die bagian Lima


“Ya, how? Positive or negative?”Lee yang sama antusias-nya denganku.
“Positif. Dugaan kamu benar Dira.”menunjukkan hasil yang sudah dia cetak. Dia menandatangani bahwa data itu adalah hasil pemeriksaan-nya. Dia hanya diam.
“Apa maksud data Romy? Beritahu aku.”paksa Lee. Romy hanya terdiam.
“Itu, mengandung bahan-bahan pelumpuh tubuh. Makanya tubuh Tara tidak bisa sembuh, untung saja kalian datang dengan cepat. Karena kalau obat ini semakin lama dikonsumsi, tubuhnya akan semakin lumpuh. Bahkan total.”ungkap Romy dengan perlahan. Lee terlihat lemas.”Untung saja Dira mengetahui gejala ini.”Romy mengatakan kepada Lee. Aku keluar ruangan dalam diam.
“Dira?”
“Ya, Dira perempuan baik Lee. Walau dia baru saja merawat Tara, tapi kasih sayang Dira memang selalu ditujukan untuk semua orang. Kamu bisa pulang, bawa hasil lab ini untuk menjadi bukti suatu saat nanti.”Lee melangkah-kan kakinya keluar ruangan itu.”Dan satu lagi Lee, Dira benar-benar sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Walau dia hanya pembantu, tapi dia adalah calon sarjana hebat. Sebentar lagi dia akan wisuda.”Lee mengucapkan terimakasih atas bantuan Romy.
               Lee melihatku duduk dalam tangisan, aku menatap kedua matanya yang teduh. Secara spontan dia memelukku, baru satu hari dia mengenalku dan begitupun aku. Aku hanya diam, ini untuk pertama kalinya aku dipeluk lagi. Setelah sekian lama tak ada pelukan lagi.
Thank you. Thank you very much Dira. Tara kakak laki-laki yang paling aku banggakan. Aku begitu terpuruk begitu dia kecelakaan dua tahun lalu. Aku membencinya, seharusnya aku merawat seperti kamu merawat dia. Kamu baru dua hari merawatnya sudah bisa menyanginya seperti saudara sendiri, sedangkan aku sudah belasan tahun. Tapi aku tidak mampu untuk merawatnya dengan kasih sayang.”perlahan dia melepaskan pelukan-nya.
“Sekarang kita harus pulang.”ajak-ku kepada Lee. Kami berjalan menuju motor, sampai tiba dirumah kami hanya diam. Tak ada satupun yang memulai pembicaraan. Ketika kami memasuki rumah aku hanya tertunduk lesu. Lee menarik tanganku menuju kekamar Tara. Aku terkejut pastinya.
               Sesaat kami sudah berada didalam kamar Tara. Aku mendengar suara tangisan yang tidak kuketahui suara siapa. Tapi yang pasti adalah suara pria dan wanita yang menangis secara bersamaan. Tuan dan Nyonya? Bathinku bertanya-tanya. Ada apa mereka menangis seperti ini. Seperti merasa  disambut, Hyun Naa menghampiriku dengan senyuman.
“Ma, ini gadis yang Hyun Naa ceritakan tadi.”Hyun Naa mengenalkan aku pada ibunya. Padahal aku sudah mengenal ibunya.
“Siang Nyonya.”aku menyapanya dengan senyuman. Dia hanya membalas senyumanku. Lee dengan tiba-tiba menyodorkan hasil Lab yang sedari tadi sudah ada ditangan-nya. Nyonya menerima hasil Lab itu.
What is?”tanya-nya dengan nada heran.
“Itu hasil Lab dari obat yang dikonsumsi oleh Tara selama ini Ma. Dan hasil Lab-nya menyatakan kalau obat yang dikonsumsinya selama ini mengandung bahan pelumpuh yang dapat melumpuhkan tubuh Tara secara total.”cerita Lee kepada keluarganya. Semua orang yang ada didalam ruangan itu terkejut. Termasuk salah satu dokter yang ada diruangan itu.
“Tidak mungkin, sangat tidak mungkin. Coba saya lihat.”dokter itu mengambil hasil Lab tersebut dari tangan Nyonya besar.”dr.Romy Suganda? Kenapa dia mau melakukan penelitian ini? Siapa yang mengenal dokter ini dari kalian berdua.?
“Saya dok. Saya teman lama dari dr.Romy, dia mau membantu setelah saya paksa dok.”aku menjelaskan tentang pertanyaan-nya itu. Aku sedikit was-was dengan jawaban ku itu, begitupun Lee. Dia terlihat khawatir.
“Kalau begitu, hasil Lab ini memang benar bu.”ungkap dokter tersebut.”Tapi saya tidak pernah memberikan yang salah.”dia terheran-heran dengan kondisi yang sekarang dihadapinya.
“Dira, kamu yang merawat Tara selama dua hari ini kan?”Nyonya bertanya spontan kepadaku. Semua mata tertuju kepadaku. Aku mengangguk menjawab pertanyaan dari Nyonya besar ini.
“Oke, sebaiknya kamu harus total merawatnya. Sampai Tara betul-betul sembuh. Bagaimana?”kali ini tuan besar yang bertanya kepadaku. Aku melihat Tara, tatapan mata yang penuh harapan.
“Ya Sir. Tapi...”aku memenggal jawabanku.
“Tapi apa?”tanya Tara.
“Kalau hari minggu, saya tidak bisa merawat tuan Tara untuk seharian. Paling tidak sampai tengah hari saja.”
“Kenapa?”nyonya Mariana menatap mataku.
“Saya harus kepemakaman orang tua saya Nyonya. Itu sudah menjadi tradisi saya sejak kedua orang tua saya meninggal.”aku melontarkan jawaban yang jujur ini kepada pemilik rumah besar ini.
“Itu alasan-nya, kalau begitu saya ikut bersama kamu kepemakaman.”usul Lee mencampuri pembicaraan kami.
“Aku juga.”Hyun Naa menyahut. Aku tersenyum melihat dua orang adik kakak ini.
Of course. Tentu saja boleh. Kenapa tidak? Itu hak kamu.”nyonya dan tuan menyetujui permintaanku.
“Aku tidak setuju.”cetus Tara, aku heran. Kenapa dia tak menyetujuinya.”Aku harus ikut baru aku setuju.”semua orang tertawa dengan riang-nya. Ya Allah. Hari kedua ini benar-benar membuatku bahagia. Seperti memiliki keluarga kembali. Terimakasih ya Allah. Pembicaraan kali ini sudah usai, aku permisi untuk menunaikan ibadah sholat dzuhur.
               Langkahku terhenti ketika aku usai mengambil air wudhu. Didepan kamarku sudah ada Hyun Naa, menyodorkan mukenah kepadaku. Dengan sigap aku mengambil dari tangan-nya.
“Aku juga mau sholat. Ini.”dia mengeluarkan mukenah dari tangan yang disembunyikan-nya.”Tapi...”
“Tapi aku tidak bisa mengambil air wudhu, dan aku juga tidak tau lafadhznya.”dia mengangguk. Dugaan yang jitu.”Ayo.”aku mengajak-nya kekamar mandi. Dia mengikutiku dengan girang-nya. Walau aku hanya pembokat, tapi aku adalah orang yang paling beruntung.
Follow me.”aku menyuruhnya untuk mengikuti gerakan berwudhu. AND GREAT dia berhasil.
               Dzuhur kali itu untuk pertama kalinya aku menjadi imam dalam sholat, dan aku berbahagia untuk itu. Usai menunaikan ibadah sholat dzuhur aku menuntun-nya mengaji. Rasanya ingin menangis, kalau saja Mama dan Papa tidak pergi apa aku harus bersusah payah bekerja membanting tulang demi mendapatkan uang seperti ini.
               Kehidupan tidak selamanya sempurna, aku memiliki kemampuan lebih dalam hal ibadah. Tapi, aku tak memiliki siapapun. Sedangkan Hyun Naa meiliki segalanya, tetapi dalam hal ibadah hasilnya nihil. Kehidupan masa lalulah yang membuatku semakin tegar, membuatku semakin kuat dengan semuanya. Waktu terus berjalan, kehidupan semakin jauh tertinggal. Aku ingat pesan Mama waktu itu,”Jadilah orang yang berguna buat semua orang.”
               Kalau saja Hyun Naa tidak mengeluarkan suara, pasti aku akan meneruskan khayalanku kemasa lalu. Kenangan manis yang indah.
“Hei, besok. Ajarin aku lagi ya.”pinta Hyun Naa dengan menebarkan pesona wajah yang indah.
“Dengan senang hati mbak.”ujarku tersenyum.
               Hari kian larut, aku memasuki kamar tuan Tara. Aku teringat akan potongan diary kemarin. Berpura-pura aku membersihkan rumah, aku melihat Tara yang tertidur dengan. Aku memakaikan selimut merah marun kesayangan-nya. Aku memeriksa keadaan kakinya, kupijat-pijat secara perlahan. Kaki kurus ini, pasti akan sembuh. Aku yakin akan hal itu. Dia penopang keluarga ini, dia adalah sosok yang bertanggung jawab akan keluarganya.
               Kakiku seperti merasakan sesuatu, kertas. Aku mengambilnya. Ini adalah potongan kertas diary yang kutemui kemarin. Dengan perlahan aku membukanya, karena aku tahu Tara sangat sensitif dengan bunyi-bunyian.
            February, 15th 2012
            Hari ini adalah hari paling bahagia, aku bisa merasakan bahwa teman masa kecil itu ada dirumah besar ini. Wajahnya yang semakin cantik, semakin dewasa. Tapi aku masih meragukan semua itu, sampai dia benar-benar terbukti adalah teman masa kecilku.
            Teman kecil yang dahulu sangat ingin kukenalkan kepada Mama dan Papa, tapi sayang semua tidak sesuai dengan rencana. Apakah gadis itu Dira? Apakah gadis itu NADIRA SRIKANDI? Teman masa kecil yang selalu memanggilku dengan nama unik. Ah, tidak mungkin. Kenapa dia tidak mengenalku sama sekali? Padahal aku begitu mengenal garis wajahnya yang penuh dengan senyuman. Senyuman yang betul-betul menyejukkan hatiku. Dari dulu dia tidak berubah, sama sekali tidak berubah. Jadi namanya Dira? Padahal aku lebih suka memanggilnya Kandi. Haha, nama yang aneh. Dia sangat cantik, jauh lebih cantik dari Shirny sigadis tidak tahu diri itu.
            Tapi kenapa terkadang wajah Dira memancarkan kesedihan? Ada apa dengan-nya? Tapi kenapa dia mau bekerja layaknya seorang pembantu? Diakan mempunyai orrnag tua. Apa jangan-jangan? Ah, sudahlah. Aku tak boleh menyangka itu adalah Dira teman masa kecilku. Aku pasti salah orang. Tapi aku benar-benar merindukan-nya. Gadis kecilku yang paling cantik. Gadis kecilku yang selalu memberi kebahagiaankepada orang lain. Dimana kamu berada? Aku merindukanmu. Sangat. Aku berharap bahwa Dira itu adalah kamu.
Robin.
            Bathinku menjerit, kertas itu terjatuh begitu saja dari tanganku. Kepalaku pusing sesaat, dunia seakan semakin gelap. Semakin gelap dan gelap. Aku tersentak dari tidur, yang secara tiba-tiba aku berada ditempat tidur TARA! Tempat tidur majikanku sendiri. Aku melihat Tara dengan serius. Apa benar tulisan tangan itu adalah milik Tara? apa benar Robin itu Tara?
“Kamu kaget membaca diary itu atau kamu memang sakit?”tanya-nya mendadak kearahku.
“Keduanya. Sakit dan kaget.”jawab singkat.
“Apa kamu punya pertanyaan terhadapku?”
“Siapa yang mengangkat aku ketempat tidur ini?”pertanyaan bodoh. Lain hal yang kupikirkan lain pula yang keluar dari mulut ku.Shit!
“Lee, dia yang mengangkatmu keatas sini. “diam hanya menyelimutiku ketika Tara mengatakan bahwa Lee-lah yang mengangkatku ketempat tidur ini.”Apa tidak ada pertanyaan lain-nya?”
“Ehh, enggak ada.”kataku berbohong.
“Bohong. Aku kenal kalau kamu lagi berbohong Kandi.”panggilan itu membuatku semakin tidak percaya akan kenyataan yang baru kubaca tadi.
“Kamu? Benar-benar Robin? Nama kamukan Robin bukan Tara.”kesalku menggebu-gebu dengan rasa ketidakpercayaan.
“Ya, Robintara Kim. Itu namaku. Aku kira kamu diluar dipanggil Kandi. Ternyata Dira.”ungkapnya. Tanpa memperdulikan sekeliling aku memeluknya sambil menangis sejadi-jadinya.
“Ya Allah, terimakasih ya Allah. Engkau sudah mempertemukan aku dengan Robin. Orang yang selama ini kucari-cari.”aku tertunduk lesu mengungkapkan rona bahagia yang ada didalam wajahku.
“Rindu sekali aku dengan pelukanmu ini dik. Sangat rindu.”Tara yang tak kusangka-sangka menangis dihadapanku untuk yang pertama kalinya.”Maafkan aku yang pergi tanpa kabar delapan tahun yang lalu. Maafkan aku tidak menepati janjiku dahulu. Maafkan aku Kandi. Maafkan aku. Aku sudah terkena akibatnya. Sekarang aku sudah tidak bisa berjalan lagi seperti dulu. Tidak bisa mengajakmu pergi keperkebunan belakang rumah, tidak bisa mengajakmu lari pagi. Sekali lagi maafkan aku Kandi.”sesalnya dengan panjang lebar. Sambil memeluk tubuhku.
“Sudahlah, aku sudah memaafkanmu. Sebentar lagi kita akan jogging mengitari perkebunan belakang. Ternyata firasatku benar Tara.”aku tersipu malu. Aku merasakan ada yang mendengar pembicaraan kami. Aku menoleh, Hyun Naa.
“Jadi, Dira ini adalah sahabat kakak waktu kecil yang membuat kakak nangis sejadi-jadinya sewaktu diajak sekolah di Korea. Wah, super sekali. Enggak nyangka aja bakalan ketemu disini.”tutur Hyun Naa lumayan panjang kali lebar-lah.
“Ah, kamu. Ngebuat aku semakin tersanjung.”balasku dengan tersipu malu.
Ya, that’s right. Bahkan, dia sampai tidak mau makan berhari-hari karena enggak ingin pisah sama kamu Ra.”aku melihat sorot mata Tara yang begitu tajam, seakan menolak pernyataan dari Hyun Naa.
You! Why you open my secret. I’m so shine.”ucap Tara sembari menutup wajahnya yang sangat oriental. Kami tertawa dengan riang.
“Oh, ya. Bagaimana dengan kakimu? Apa masih mati rasa?”tanyaku beruntutan bagai train yang sedang berjalan.
“Sedikit, tapi bagian sebelah kiri masih mati rasa.”bergegas aku menuju kedapur. Membuat ramuan yang sama. Dapur sepi, bu Nunik dan yang lain-nya kemana ya?
DUAAAARRRRRR!!! Aku dikejutkan dari belakang, Lee.
“Huhh, aku kira siapa. Sport jantung akunya. Dasar! Cih!”tersontak aku langsung memaki Lee. Dia nyengir yang membuat aku semakin dongkol dan ingin memukul kepalanya menggunakan Frying Pan.
Don’t be angry honey.”WHAAAATTT!!! Dia bilang aku Honey. Mulutku menganga bagaikan kantung semar.
Hey, what are you talking? Honey? Are you crazy?
Sorry..sorry..aku enggak ada maksud membuat kamu kaget kok. Aku cuma mau minta tolong sama kamu. Boleh enggak?”pinta-nya dengan wajah yang membuat aku iba.
“Apaan? Aku lagi sibuk. Lagi pula sekarang sudah jam11.00 malam. Enggak enak kalau dilihat pembantu yang lain.”
“Sibuk apaan? Buat ramuan sama Tara? Sepertinya kamu suka sama Tara.”liriknya dengan asal tebak.
“Sok tau kamu. Sebenarnya sih iya. Sudah dari 8 tahun yang lalu. Aduuhhh.”dengan refleks aku menutup mulut. Ya ampun, kenapa aku jadi cerita sama nih bocah sih aku membathin dalam hati.
“8 tahun yang lalu? Maksudnya apaan nih?”aku menundukkan wajah tanpa memandang keatas. Rada seram kalo Lee lagi marah. Sport jantung jadinya.
“Emm, begini. Aku akan menceritakannya sama kamu. Oke. Tapi aku harus mengobati Tara dulu ya. Oke.” tanpa meminta jawaban darinya aku langsung menuju kekamar Tara, yang lumayan jauh dari dapur. Aku menoleh kebelakang, melihat Lee sedang memandangku. Aku langsung mengalihkan pandanganku.

Lifes Never Die bagian Empat


Tak ada satupun diantara kami yang mendahului untuk berbicara.
“Kamu tahu, kamu cuma pembantu disini. Kerja kamu bukan cuma untuk merawat tuan Tara. Sekarang kamu harus membersihkan kolam renang yang ada dibelakang sana. CEPAT!!”teriak bu Nunik. Padahalkan aku mau memasak untuk tuan Tara. Diakan belum sarapan.
“Tunggu bu. Dia juga merawat saya dan Hyun Naa. Jadi untuk tugas rumah dia tidak boleh melakukan-nya.”Lee, ya. Itu Lee. Buat apa dia membelaku.
“Tapi tuan?”
“Tidak ada tapi-tapian, atau ibu mau saya aduin sama Mama kalau ibu kerjanya tidak BECUS!” ketusnya. Benar-benar pria ini, membuat semua orang jengkel.
“Baik tuan. Saya permisi.”bu Nunik berlalu. Dan aku menatap wajah Lee dengan emosi.
“Makasih atas bantuan-nya. Tapi maaf saya tidak akan merawat anda tuan muda Kim Hwa Lee. NEVER!”
“Sama-sama.”dia berlalu begitu saja.
“Cih, dasar laki-laki tidak tau diri. Sok jadi pahlawan kesiangan. Aduh, baru dua hari bekerja aku sudah makan hati. Oalah, nasib-nasib jadi pembantu orang kaya yang banyak maunya.”ujatku sambil mencari panci untuk memasak soup buat Tara. Aku akan memasaknya dengan sepenuh hati.
               Ketika aku membalikkan badan mau mengambil bahan-bahan dari kulkas, aku terkejut minta ampun.
“Ya Allah, kamu ngagetin aku tahu.”ucapku spontan.
Sorry. Enggak ada maksud kok Dira. Aku cuma mau mengenal kamu lebih jauh aja.”Hyun Naa membantuku mengambil bahan-bahan yang ada dikulkas.
“Jangan Mbak. Nanti saya dimarahin lagi sama bu Nunik.”sergahku langsung mengambil bahan-bahan itu dari tangan-nya.
“Enggak apa-apa kok. Rumah ini rasanya beda sekali.”
“Beda bagaimana mbak?’tanyaku yang tengah asyik memotong sayur-sayuran.
“Ya, enggak tau. Just different. Oh, ya. Kamu semester berapa?”
“Semester empat mbak.”
“Wah, hebat dong ya. Usia 18 tahun sudah semester 4, i’m so proud of you. Oh, ya. Don’t call me sister, just Hyun Naa.
“Oh, oke mbak eh Hyun Naa.”aku tersenyum. Wanita ini benar-benar ramah.
“Sepertinya kamu benar-benar ingin menyembuhkan Tara?”
“Kenapa kamu bisa berkata seperti itu?”
“Ya, i see that. Sepertinya kamu benar-benar tulus. Aku baru melihat pembantu disini yang seperti kamu. Walau kamu pembantu, tapi kamu tidak malu untuk membawanya kekampus. Saya yakin kalau kamu akan jadi orang yang sukses.”
“Amin. Mudah-mudahan saja . Aku hanya berharap bisa lulus dengan predikat Cum Laude, itu saja. Buat membanggakan Almarhum Papa dan Mama disana.”mataku menerawang keluar dapur.
“Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti.”
“Orang tua aku sudah tiga tahun yang lalu meninggal. Jadi semua kebutuhan harus aku usahakan sendiri. Untung sekarang lagi libur semester, jadi tidak terlalu sibuk.”
“Oh, iya. Kamu agamanya apa?”
“Aku Islam, kamu apa?”kalau soal ini aku memang tidak tahu apa-apa.
“Sebenarnya keluarga ini Islam, tapi aku belum terlalu lancar sholat. Kami sekeluarga baru muallaf, yang benar-benar bisa sholat cuma Tara. Karena dia lebih banyak bergaul dilingkungan orang islam.”
“Pantas saja, aku sudah menduga itu.”tanganku tak rundung berhenti mengaduk-aduk soup yang kubuat dengan reserpku sendiri.
“Oh ya? Aku mau dong diajarin sholat dan membaca Al-Qur’an.”pintanya kepadaku dengan tatapan mata yang penuh makna.
“Boleh-boleh saja, asal semua itu diluar gaji pokok. Hahaha”aku tertawa dan kami pun tertawa.
“Kamu ini. Tapi kamu benar-benar pembantu yang unik. Saya semakin kagum sama kamu.”aku tak menjawab pujian-nya kali ini. Aku menuangkan soup yang masih panas kedalam mangkuk yang sudah tersedia.
“Aku harus membawa ini kepada Tara, dia pasti sudah lapar.”
“Kamu sudah sarapan?”
“Tidak, saya lagi puasa.”aku tersenyum berlalu dari hadapan-nya menuju keruang tamu dimana aku duga Tara ada disitu.
That is. Chicken soup by Dira. Tri it.”aku menyulangkan sesendok kuah soup kepada Tara. Dan hasilnyaaaa...
Not bad.”dia tersenyum lagi.”Ssshh..aduh.”
“Kenapa? Panas?”sindrome kekhawatiranku muncul secara tiba-tiba.
“Bukan. Kakiku perih.”
Are you sure?”tanyaku tidak percaya. Aku melihat kearah kakinya. Benar saja, ketika aku membuka balutan kain dia meringis kesakitan. Kakinya memerah, menandakan adanya reaksi obat yang kuberikan. Aku senang. Baru beberapa jam obatnya bereaksi dengan cepat.”Kita berhasil. Perih?”aku mencolek kakinya. Dia mengangguk. Matanya berbinar memandangku dengan senyuman khas-nya itu.
“Kamu yakin.”
“Aku sangat yakin.”dengan wajah serius aku berkata padanya.”Sebaiknya kamu makan dulu, tunggu rasa perihnya hilang. Insya Allah akan sembuh.”aku sungguh heran dengan semua ini. Kenapa obat tradisional ini begitu manjur. Sedangkan obat dari dokter ternama sama sekali tidak bisa mehilangkan sakitnya. Ada yang tidak beres.
               Seusai makan aku mengajaknya menuju kekamar, ada yang harus aku perbincangkan dengan Tara dan dan dua saudaranya yang lain.
“Ada apa Dira? Kenapa kamu terlihat begitu cemas.”tanya Hyun Naa. Kali ini Lee hanya diam gak berkata.
“Obat yang aku buat tadi pagi sudah bereaksi. Tara sudah merasakan nyeri dibagian kakinya.”
“Bukankah itu bagus? Tapi kenapa wajahmu bisa cemas seperti itu?”Hyun Naa bertanya lagi kepadaku.
“Saya cuma heran saja, seperti ada yang tidak beres. Saya butuh obat yang diberikan oleh dokter yang menangani Tara. Bisa?”
“Ya, of course.”Hyun Naa menuju kelemari penyimpanan obat. Lalu memberikan lima macam obat dengan dosis diatas 1000 mg.
“Jangan minum obat ini lagi, saya akan memeriksa kandungan dari obat ini.”
“Kamu bisa? Bukankah kamu adalah mahasiswa bisnis?”ujar Tara secara tiba-tiba.
“Bukan saya, tapi teman saya. Teman dekat saya. Saya harus pergi sekarang, saya hanya butuh satu butir untuk setiap jenisnya. Boleh?”
“Ya, tentu saja.”Tara memperbolehkan aku membawanya.
Thanks.
“Kamu naik apa?”kali ini Lee yang berbicara.
“Naik angkutan umum saja.”jawabku menuju keluar kamar.
“Bersamaku saja.”Lee menarik tanganku dengan cekatan. Aku melihat Hyun Naa dan Tara tersenyum.
               Aku hanya mengganti pakaian seadanya, Lee sudah menunggu dibawah bersama bu Nunik. Sepertinya bu Nunik mengizinkanku untuk keluar sebentar saja bersama Lee.
“Saya bawa dia dulu ya bu.”ucap Lee.
“Baik tuan.”aku hanya mengangguk tanda permisi kepada kepala pembantu itu. Kami menuju kegarasi mobil. Ya Allah, benar-benar. Alphard, BMW, Sedan, dan Turbo. Keempat mobil mewah ini berjejer dengan rapi di garasi mobil yang luas ini. Aku melihat motor gede. Dia membuka pintu sedan. Dan menyuruh aku masuk.
“Kita naik motor aja ya.”pintaku padanya.
“Apa?Naik motor. Panas! Naik mobil saja. Ayo naik.”
“Lebih baik aku jalan kaki saja, dari pada naik mobil.”aku meninggalkan-nya begitu saja. Tapi lambat laun aku mendengar suara motor yang berjalan kearahku.
“Ayo. Merepotkan saja.”aku hanya tersenyum mendengar ocehan-nya. Aku memberitahu alamat praktek temanku itu. Namanya Romy, seorang dokter lulusan dari kampusku. Dia adalah orang yang selama ini rajin membantuku ketika berada dikampus. Aku sering mengunjungi tempat prakteknya, sembari membantunya walau hanya sejenak.
               Tak sampai 15 menit, kami sampai di tempat praktek Romy. Dan kebetulan dia sedang duduk diberanda rumahnya. Dia tersenyum melihat kedatanganku.
“Hai, kamu kemana saja? Nomormu tidak aktif ketika aku hubungi.”katanya menyambut kedatanganku.
I’m so sorry about this.
It’s oke. Who is?”Romy bertanya ketika melihat Lee berada disampingku.
“Oh, kenalkan. Ini Lee, anak majikan baruku. Dan tujuan kami datang kesini, untuk memeriksakan ini.”aku mengeluarkan lima butir obat yang sudah aku bungkus dengan plastik. Dan menyerahkan-nya kepada Romy.
“Hm, Romy.”dia mejabat tangan Lee dengan ramah. Begitupun sebaliknya.”Ada apa dengan obat ini?”tanya-nya heran.
“Justru itu aku membawanya kemari, kakak tertua Lee namanya Tara. Dua tahun lalu kecelakaan, tapi sejak mengkonsumsi obat ini kesehatan-nya bukan membaik malah memburuk. Tadi pagi dengan sengaja aku membalurkan air panas dan jahe, tak lama kakinya merasakan sesuatu. Aku rasa itu reaksi dari jahe dan air panas itu. Tolonglah Romy, cari tahu. Kami membutuhkan-nya sekarang juga.”aku mejelaskan panjang lebar perihal tujuan kami ke tempat prakteknya.
“Ini karena kamu yang minta loh Dira. Makanya aku mau, ayo masuk.”Romy juga mengajak Lee. Lee hanya mengikuti dari belakang.
“Ini rumah kamu?”tanya Lee tiba-tiba kepada Romy.
“Ya, ini semua berkat pekerjaanku sebagai dokter. Semua sudah ada, tinggal satu hal yang belum ada.”cerita Romy.
“Apa?”tanya Lee kembali.
“Aku belum mempunyai istri. Boro-boro istri pacar saja aku tak punya. Hahaha”Romy tertawa dengan girang.
“Kami boleh kedalam tidak?”tanyaku keika kami sudah berada didepan ruang penelitian.
“Ya tentu saja, tapi harus memakai baju lengkap. Agar hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.”aku mengangguk tanda setuju, aku melihat Lee menghilang dari peredaran. Ternyata dia sudah lebih dahulu memakai baju Laboratorium. Lengkap dengan penutup hidung dan kepala. Kami bertiga masuk keruangan yang menurutku cukup steril ini.
“Wow, sejak aku mengenalmu tiga tahun lalu. Baru kali ini aku memasuki ruangan spektakuler ini.”aku terkejut melihat fasilitas yang ada didalam ruangan.
               Sayup-sayup terdengar alunan musik, lagu berbahasa Indonesia yang sangat kukenal Pasto ini pasti suara pasto.
“Aku jatuh cinta.”ujar Lee secara tiba-tiba.”Lagu ini satu-satunya lagu bahasa Indonesia yang kusukai.”tuturnya sembari melihat-lihat alat-alat lab yang sangat memukai penglihatan kita.
               Aku hanya tersenyum melihat dia mengatakan itu, ternyata dia punya lagu favorit yang sama denganku. Aku merasakan sesuatu hal yang aneh tentang perasaanku. Ah, tidak mungkin. Aku kan menyukai Tara kenapa aku mempunyai perasaan yang aneh ini terhadap cecunguk yang satu ini.
“Hei, kok malah bengong kamu.”suara Romy mengejutkan ku.
“Eh, sorry Romy. Aku mengkhayal, bagaimana udah dapat datanya?”tanyaku penasaran. Aku melihat Lee sedang memainkan microskop yang ada disudut meja.
Done! Mari kita periksa di microskop.”ajaknya. Aku hanya mengangguk, aku menyangka dia akan mengusir Lee. Ternyata dugaanku salah. Dia mengambil alat yang lain, sejenis microskop tapi memiliki ukuran yang lebih besar lagi. Alat ini langsung tertuju kepada layar komputer yang ada didepan kami.
“Bagaimana? Finish?”Lee bertanya dengan tiba-tiba.Aku hanya menoleh sekejap saja.
“Sebentar lagi Lee, proses ini harus butuh kesabaran ekstra.”bujuk Romy kepada Lee. Aku hanya menjadi penonton saja dalam pembicaraan mereka. Dua pria yang bisa membuat siapa saja jatuh cinta. Apakah aku juga termasuk salah satunya? Ah tidak mungkin.
“Berapa lama proses ini Romy?”Lee terlihat semakin penasaran.
“Hanya butuh waktu 3 menit saja. Just relax. Oke.”kata-kata Romy cukup membuat Lee diam walau hanya sebentar. Dia hanya mengumpat-umpat cacian terhadap siapapun yang menyakiti kakak tersayang-nya itu. Aku salah menduga, ternyata dia benar-benar pria yang penyayang seperti yang dikatakan Tara. Aku hanya beraharap melalui proses ini dugaan yang kucurigai dua hari ini benar. Walau baru dua hari bekerja dengan keluarga Kim ini, rasanya aku merasa sudah bekerja bertahun-tahun.
               Lee terlihat antusias ketika waktu 3 menit sudah berlalu. Romy mengecek apakah data sudah masuk kedalam komputer.
“Bagaimana Romy? Apa hasilnya?”berbagai pertanyaan muncul dikepalaku. 

Lifes Never Die bagian Tiga


Rasanya baru sekejap aku merebahkan badan alarm sialan yang ada diruangan tengah rumah (sepertinya) berbunyi dengan kerasnya.Aku melihat jam di layar ponsel abal-abal yang kumiliki.
“Ahh, masih jam 05.00 Shubuh. Masih ngantuk. Hooaaaamm..”saat aku mau memejamkan mata kembali, ketuka pintu yang agak kuat terdengar dengan begitu keras.”Siapa sih? Masuk.”
“Kamu udah bangun? Aku kira kamu belum bangun. Ayo cepat, hari ini kamu akan aku tunjukkan ruangan yang ada dirumah ini. Sebelum bu Nunik bangun.”
“Oh, kamu Lusy. Aku kira sinenek sihir. Emang bu Nunik bangun jam berapa?”tanyaku seketika.
“Bu Nunik biasa bangun jam 06.30, jadi sebenarnya masih ada sih waktu untuk tidur bagi pembantu yang lain. Tapi, kalau dia sampai tahu siap-siap deh dipecat.”jawabnya panjang lebar.
“Oh, oke. Tapi aku sholat shubuh dulu ya. Enggak enak rasanya kalau kerja tidak diawali dengan sholat dipagi hari.”pintaku pada Lusy.
“Oke, aku tunggu disini saja.”jawabnya dengan senyuman tipis.
               Seusai melaksanakan ibadah sholat shubuh, Lusy langsung mengantarkanku keruangan yang ada diseluruh rumah.
“Aku dengar kamu masih kuliah ya?”ungkapnya membuka pembicaraan kami dipagi itu.
“Oh, iya.” aku menjawab sembari tersenyum.
“Kita mulai dari lantai pertama ya, kamu pastinya sudah tau dimana dapur?”aku hanya mengangguk menandakan kalau aku sudah mengetahuinya.”Nah, yang ini ruang tamu. Ini ruang tamu utama, sebenarnya ada tiga tapi yang paling besar adalah yang ini.”tunjuknya kearah ruang tamu. Ini sih bukan ruang tamu, tapi ini namanya ruang penyambutan bapak presiden.  Bukan besar lagi, tapi sangat besar. Diluar dugaanku, kemarin malam aku mengira ruangan ini adalah ruangan khusus acar-acara besar saja dipergunakan.
“Nah, yang ini adalah perpustakaan. Benar-benar besar ya. Semua berbau bahasa Korea dan Jepang, aku saja sampai tidak mengerti artinya.”
“Oh, dulu sewaktu orang tua aku masih ada. Aku pengin banget punya perpustakaan sendiri, tapi sayang semua hanyalah khayalan saja.”
“Maaf ya, jadi kesitu pengarahan-nya.”dia menatapku layaknya orang yang butuh bantuan.”Nah kalau yang ini adalah ruangan antik, kalau ruangan ini ada yang merawatnya kok. Jadi kita enggak usah repot-repot untuk merawatnya.”barang-barang ini saja harganya bisa mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta.rupiah.
“Harganya setara dengan perumahan elit di Jakarta. Sungguh menegangkan bagi yang mengerjakan-nya.”
“Sangat menegangkan Dira. Aku saja terkadang sampai merinding bagaimana kalau barang-barang ini sampai pecah. Bisa-bisa kita jadi pembantu seumur hidup disini tanpa digaji. Bahkan itupun tidak mencukupi untuk menggantinya.”aku sangat menyetujui perkataan Lusy ini.
               Satu jam lebih kami berjalan-jalan mengitari rumah ini, sangat melelahkan. Badanku saja sampai bau keringat. Aku langsung menuju kekamar mandi untuk membersihkan diri, ketika aku masuk kekamar jantungku bagai tersambar petir.
“AAAAAAA...”teriakku.”Ngapain kamu disini, keluar! Keluar dulu!”aku mendorong kursi rodanya tanpa perduli ekspresinya. Tak sampai 15 menit aku berpakaian, aku membuka pintu dan melihat tuan muda ini masih ada diluar kamarku.
“Tubuhmu seksi juga, bagus lagi.”aku hanya menelan ludah mendengar ucapan-nya yang sangat spontan itu.”Tapi maaf, aku tidak tertarik. Katamu aku mau diajak keluar rumah. Tapi sekarang sudah jam 07.30 wib. Kamu lupa?”
“Saya enggak lupa. Tapi pura-pura lupa.”singkat tapi aku harap dia mengerti dengan ucapanku tadi.
“Aku tidak perduli, yang penting ajak aku keluar rumah sekarang juga.”sebenarnya aku malas untuk keluar rumah bersamanya. Tapi apa boleh buat, berhubung itu janji dan tugasku sebagai pembokatnya.
               Ikhlas tak ikhlas aku mendorong kursi rodanya, tepat sampai dipintu depan rumah sebuah mobil sedan mewah berhenti. Aku melihat ekspresi Tara berubah, wajahnya seperti lebih cerah.
“Haii, kalian lebih cepat dari dugaan.”seorang perempuan cantik berambut hitam kecoklatan keluar dari mobil dan menyambangi Tara. Aku hanya tersenyum, tapi kok mobilnya tidak jalan-jalan juga. Aku menatap wajah Tara dengan seksama.
Yes, we want suprise to us brother.”ucap wanita ini dengan lembutnya. Senyumnya bagai bulan sabit, siapa sih lelaki yang tidak akan menyukainya.
And. You get it. Thank you, where’s Lee? I missed him.”ternyata tepat dugaan ku. Perempuan cantik ini adalah Hyun Naa.
I’m here brother.”aku mendengar suara berat tepat disampingku. Subhanallah, tampan sekali. Tidak jauh beda dengan Tara. Betul-betul keluarga yang sempurna.
I miss you so much.Oh, ya. Kenalkan ini Dira. Orang yang akan merawatku. Dira, ini Hyun Naa dan ini Lee. Atas perintah saya, jangan panggil mereka dengan embel-embel tuan muda atau apalah.You Understand?
Yes, sir. I’m understand.”aku menjawab sesuai dengan apa yang diminta.
She can speak english?”Hyun Naa bertanya kepada Tara.
Yes, i can.”tanpa menunggu jawaban dari tara aku menjawab pertanyaan dari Hyun Naa.
“Aku mau masuk dulu, Jet Lag.”sombong sekali lelaki yang satu ini. Puji sedikit kemampuanku berbahasa ini.
“Aku juga, have fun. Bye Dira.”aku mengangguk dengan ramah. Aku mendorong kembali kursi roda Tara menuju ke sebuah taman yang ada disekitar rumah. Begitu kami sampai disana, puluhan bunga menebar aromanya yang sangat khas. Yang paling menonjol adalah aroma melati.
“Dulu waktu aku kecil, aku suka sekali sama aroma taman ini. Sangat menyejukkan hati.”ceritanya secara tiba-tiba.
“Oh ya?”aku memperhatikan kedua kakinya yang terkulai dengan lemas.”Pernah enggak sih, kakimu itu di gerakin disaat pagi hari?”lanjutk lagi.
“Eh?”dia terkejut dengan pertanyaanku. Aku mengulurkan kedua tanganku untuk mengajaknya berdiri, tapi dia sepertinya enggan. Aku mencubit kakinya dengan kuat.
“Bagaimana rasanya?”
“Mati rasa, tidak sakit sedikitpun.”jawabnya dengan rona wajah yang sedih. Aku mempunyai ide yang lumayan gila. Tapi aku berharap ini berhasil.
“Sudah pernah dikasih obat tradisional belum?”tanyaku kembali.
“Heh, sedangkan obat dokter saja tidak mempan. Apalagi obat tradisional.”tuturnya sepele.
“Tunggu sebentar disini, jangan kemana-mana. Oke.”aku berlari menuju ke dapur melalui jalan yang menurutku jalan pintas. Sesampainya didapur aku melihat Ryan tengah sibuk mempersiapkan sarapan, sepertinya.
“Hai, Dira. Untung saja kamu kemari. Aku butuh bantuanmu memasak martabak mie seperti yang kamu buat semalam. Tapi tidak berhasil juga.”keluhnya kepadaku.
“Oke, aku akan membantumu. Tapi kamu bantu mengerjakan tugasku. Bagaimana?”
“Apa tugasnya?”aku mejelaskan kepadanya untuk menumbuk jahe sampai halus dan memanaskan air, lalu dituang kedalam botol kaca. Dia pun menyetujuinya. Tak sampai 15 menit aku mengerjakan tugasku, begitupun Ryan.
“Tapi, ngomong-ngomong jahe dan air panas itu untuk apa?”tanyanya dengan nada heran.
“Hm, ada deh.”aku berlari cuek tidak memperdulikan keadaan disekelilingku. Aku menuju ketempat Tara berada, tapi Tara dimana? Kok tidak ada? Aku menyisiri seluruh isi taman. Tapi tidak ada. Ketika aku memutuskan untuk kembali kedapur, aku mendengar suara nyanyian. Ya, itu pasti Tara. Aku mendengar suara itu dengan sangat jelas. Nyanyian yang sangat menyentuh. Aku menghampirinya, tapi dia tak sendiri. Dia bersama dengan Hyun Naa.
“Permisi.”kataku sopan.
“Urrgh, kenapa kamu lama sekali. Aku mau mati kebosanan disini.”ujarnya dengan wajah kesal. Hyun Naa hanya tersenyum.
“Maaf. Aku mencari-cari ternyata kamu ada disini.”dia melihatku memegang jahe dan air. Belum sempat dia bertanya aku langsung memberi argument tentang jahe.”Oh, ini. Jahe dan air panas.”aku menuju kebagian kakinya. Aku mencubitnya sekali lagi, tapi dia berkata tidak ada rasa sakit sedikitpun. Sampai lima kali aku mencobanya, tapi hasilnya nihil. Aku mencoba menggerak-gerakkan kakinya.
               Karena tak ada reaksi, aku mengguling-gulingkan botol yang berisi air panas kebagian kaki. Dia tak merasa apapun. Dan terakhir aku membalur adonan jahe kebagian kakinya yang sakit dengan membaca salawat. Dia heran, tapi tidak memberontak terhadap apa yang aku lakukan. Dia hanya diam, begitupun dengan Hyun Naa. Aku membalutnya dengan kain kasa yang telah aku persiapkan.
“Kamu yakin ini berhasil Dira?”tanya Hyun Naa.
“Mudah-mudahan mbak. Semua harus dilakukan dengan usaha yang kuat. Biar lambat tapi bisa sembuh.”jawabku polos. Tara hanya diam memperhatikan pembicaraan kami.
“Ya, aku berharap begitu. Mama sama Papa juga sudah tidak punya pilihan lain lagi. Semua dokter diseluruh benua yang terbaik sudah didatangi. Tapi hasilnya enggak ada.”
“Kita hanya berusaha dan berdo’a mbak. Yang dia atas menentukan.”bagai seorang ustadzah aku menjawab pertanyaan dari Hyun Naa. Dia membalas pernyataanku dengan senyuman. Dalam waktu yang cukup lama kami bertiga diam dalam bisu.
               Tiba-tiba aku dikejutkan dengan teriakan dari bu Nunik, ya ampun. Kenapa sih nenek tua itu selalu mengganggu keheninganku. Menggeramkan sekali. Bukan, sangat menjengkelkan.
“Maaf Mbak, saya harus pergi menemui bu Nunik.”ujarku seraya berharap mereka melarangku untuk pergi dari sini.
               Mereka berdua hanya saling bertatap-tatapan. Seakan ada yang ingin ditanyakan.
“Jangan! Kamu disini aja. Tidak usah terlalu diperdulikan bu Nunik. Dia pasti paham kalau kamu sedang merawat Mas Tara. Lagi pula tugas kamu memang itukan?”ucapnya kepadaku sembari bertanya.
“Iya sih Mbak. Tapi saya enggak enak saya pembantu yang, kalau kerja saya cuma merawat tuan Tara.”kali ini Tara hanya diam ketika aku menyebutnya dengan embel-embel tuan.
“Kalau begitu kamu juga harus merawat aku dan Hyun Naa. Bagaimana?”usul seseorang yang secara tiba-tiba berada dibelakang kami.
“Haa? Tapikan kalian sangat sehat. Kalau Tara-kan sedang sakit, wajar kalau dia dirawat.”sergahku dengan cepat. Mendingan aku disuruh merawat Tara bertahun-tahun dari pada aku harus disuruh untuk merawat Lee. Bisa-bisa aku mati berdiri.
“Jadi, kalau sehat kamu tidak mau mengurus kami?”tanya-nya lagi.
“Bukan begitu, saya tidak handal dalam merawat perilaku tapi saya handal dalam merawat fisik.”kata-kata yang terlontar dari mulutku seakan kecaman yang tajam untuknya.
“APA? Kamu bilang apa barusan? Kamu menyindir saya?”tanya-nya dengan nada ketus.
“Bukan begitu, tapi menurut saya itu memang suatu kebenaran.”aku menjawab sesuai dengan kenyataan.
“Atas dalil apa kamu mengatakan saya begitu? Haa?”aku melirik kearah Tara dan Hyun Naa tertawa. Mungkin dia heran terhadap ucapan adiknya yang satu ini.
“Anda benar-benar ingin mengetahuinya?”tanyaku kembali dengan rona wajah serius.
Yes, i want. Tell me right now!!
“Oke,when you  get out from car,  i look you are very arrogant, stay cool, i mean very stay cool. Your face isn’t smile. VERY BAD! I think you are a human that very sad in the world. VERY SAD. Just it!”aku menekankan pada dua kata yaitu VERY BAD dan VERY SAD.
“Oh ya? Kamu adalah perempuan pertama yang mengatakan hal itu kepadaku. Semua wanita tertarik padaku. Aku tampan, kaya, pintar, anything i have.”ujarnya menyombongkan.
But, you don’t have a love.Excuse me. Ayo Tara, waktunya sarapan, saya akan buatkan soup. Sudah jam 09.00 wib.”aku melihat jam tanganku. Aku mendorong kursi roda menuju kerumah.
“Maafin adikku ya.”Hyun Naa mengagetkanku dari belakang. Dia tersenyum lalu pergi begitu saja.
“Tapi Lee itu baik kok.”Tara melanjutkan perkataan Hyun Naa.”Dia memang agak manja, dari kami bertiga dialah yang paling kurang kasih sayang. Itulah yang membuat dia menjadi lebih kekanak-kanakan.”tumben banget Tara ngomongnya lembut, sambil tersenyum pula.
“Iya, aku tau. Tapi dia enggak bisa dibiarkan begitu saja dong. Bisa-bisa dia enggak jadi orang yang mandiri. Anak terakhir mah anak terakhir, tapi kalau tingkahnya seperti itu mana bisa jadi orang.”tuturku panjang lebar tanpa memperdulikan status diantara kami.
“Kamu tau enggak, dari semua pembantu yang merawat aku. Cuma kamu yang berani ngomong seperti itu. I like it.”dia tersenyum. Dan senyum maniiisss sekali.
“Pembantukan juga manusia, punya akal pikiran yang bisa diungkapkan.”
“Oia, kamu anak bisnis kan?”
“Iya, mau berapa kali aku mengulangnya?”
“Berarti kamu pintar dalam hanya menciptakan sesuatu barang?”tanyanya kembali.
“Ya, seperti itulah.”
“Kamu mau tidak membantuku?”
“Boleh, but you must be breakfast. Oke?”dia tertawa melihatku. Entah dimana lucunya akupun tak mengetahuinya.
               Aku menuju kedapur, kenapa hening ya. Tidak ada satupun orang dirumah ini.
“Kamu kemana saja? Dipanggil-panggil kenapa tidak menyahut?”suara bu Nunik mengejutkanku.
“Oh, anuu bu. Saya lagi bersama tuan Tara. Jadi saya tidak mendengarnya.”
               Suasana hening terasa diantara kami berdua.